Bermula dari undangan dari Selasar Sunaryo bahwa hari ini ada pameran tunggal Beatrix Hendriani Kaswara yang diberi judul Visual Noise , saya langsung meng-sms Andika. Ternyata gayung bersambut, teman saya itu mengiyakan. Maka sepulang ia kuliah, ia segera ke rumah saya kemudian kami menuju Dago Pakar.
Kami datang kelewat pagi dibandingkan acara awal oleh karena itu kami duduk-duduk di Kopi Selasar dan saya memesan espresso machiato atas nama tidak enak jika duduk-duduk doang dan si mbak sudah memberi bon pemesanan. Setelah itu, orang-orang yang mulai berdatangan membuat saya dan Andika menyisihkan diri dengan beranjak dari Kopi Selasar lalu duduk-duduk di amphitheater Selasar Sunaryo. Ternyata lebih enak disini! Ditemani langit sore, sepoi-sepoi angin dingin, dan daun-daun bambu yang berguguran, menemani kami berbincang-bincang menunggu acara.
Tiga puluh menit dari pukul empat, acara baru dimulai. Ternyata orang-orang cukup banyak yang datang. Sebagian dari mereka sepertinya wartawan. Acara dibuka oleh pembawa acara dan sang kurator - Agung Hujatnikajennong - untuk menjelaskan apa yang dilukis Beatrix. Lalu pelukis lulusan Fakultas Seni Rupa dan Design itu diberi kesempatan untuk memberi sambutan yang diakhiri dengan nada yang menggantung sehingga membuat penonton tidak gegap gempita menyambutnya. Anti klimaks. Tanpa berlama-lama, pameran resmi dibuka.
Karya-karya Beatrix bertemakan televisi dan perempuan. Layar televisi yang terkadang tidak jernih akibat sinyal yang tidak sempurna sehingga membuat 'noise' seperti gambar yang bergoyang dan bintik-bintik, warna-warna yang tidak jelas, dapat memunculkan makna baru seperti membentuk pola lukisan kubistik atau surealis. Selain itu, stereotype bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih dan berambut panjang dan stereotype perempuan yang religius selalu mengenakan kerudung, menjadi hilang karena noise yang diciptakan televisi. Yang cantik bisa menjadi jelek, yang berwajah alim bisa jadi terlihat jahat.
Ukuran lukisan yang relatif besar dan penuh dengan warna, memenuhi Ruang B Selasar Sunaryo.
Setelah selesai melihat-lihat, pengunjung pameran disajikan lontong soto ayam dan kembang tahu yang rasanya enak sekali. Mungkin terakhir kali saya makan kembang tahu adalah ketika saya masih SD. Semua orang duduk-duduk di amphitheater dan ketika saya berangkat pulang pun mereka masih duduk-duduk disana. Mungkin mereka juga mengenang masa-masa terakhir makan kembang tahunya - di bawah langit sore.
Kami datang kelewat pagi dibandingkan acara awal oleh karena itu kami duduk-duduk di Kopi Selasar dan saya memesan espresso machiato atas nama tidak enak jika duduk-duduk doang dan si mbak sudah memberi bon pemesanan. Setelah itu, orang-orang yang mulai berdatangan membuat saya dan Andika menyisihkan diri dengan beranjak dari Kopi Selasar lalu duduk-duduk di amphitheater Selasar Sunaryo. Ternyata lebih enak disini! Ditemani langit sore, sepoi-sepoi angin dingin, dan daun-daun bambu yang berguguran, menemani kami berbincang-bincang menunggu acara.
Tiga puluh menit dari pukul empat, acara baru dimulai. Ternyata orang-orang cukup banyak yang datang. Sebagian dari mereka sepertinya wartawan. Acara dibuka oleh pembawa acara dan sang kurator - Agung Hujatnikajennong - untuk menjelaskan apa yang dilukis Beatrix. Lalu pelukis lulusan Fakultas Seni Rupa dan Design itu diberi kesempatan untuk memberi sambutan yang diakhiri dengan nada yang menggantung sehingga membuat penonton tidak gegap gempita menyambutnya. Anti klimaks. Tanpa berlama-lama, pameran resmi dibuka.
Karya-karya Beatrix bertemakan televisi dan perempuan. Layar televisi yang terkadang tidak jernih akibat sinyal yang tidak sempurna sehingga membuat 'noise' seperti gambar yang bergoyang dan bintik-bintik, warna-warna yang tidak jelas, dapat memunculkan makna baru seperti membentuk pola lukisan kubistik atau surealis. Selain itu, stereotype bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih dan berambut panjang dan stereotype perempuan yang religius selalu mengenakan kerudung, menjadi hilang karena noise yang diciptakan televisi. Yang cantik bisa menjadi jelek, yang berwajah alim bisa jadi terlihat jahat.
Ukuran lukisan yang relatif besar dan penuh dengan warna, memenuhi Ruang B Selasar Sunaryo.
Her Gaze (Woman on the Telly #1)
acrilyc on canvas
Singing Lady
oil on canvas
Woman on the Telly, Noised #2
pen on paper
Selain itu, lukisan yang dicetak di kertas transparan ini adalah kesukaan saya karena dianggap paling mewakilkan maksud Beatrix dalam merubah persepsi orang akan stereotype.acrilyc on canvas
Singing Lady
oil on canvas
Woman on the Telly, Noised #2
pen on paper
Setelah selesai melihat-lihat, pengunjung pameran disajikan lontong soto ayam dan kembang tahu yang rasanya enak sekali. Mungkin terakhir kali saya makan kembang tahu adalah ketika saya masih SD. Semua orang duduk-duduk di amphitheater dan ketika saya berangkat pulang pun mereka masih duduk-duduk disana. Mungkin mereka juga mengenang masa-masa terakhir makan kembang tahunya - di bawah langit sore.
Tags:
pameran seni
Jd penasaran, "sambutan yang diakhiri dengan nada yang menggantung" tuh yg gimana persisnya? Krn aku tertarik dg beragam model komunikasi dan efek2nya pd audiens.
ReplyDeleteIbarat suara yang seharus harus berhenti ketika sampai titik, ini nadanya menggantung ketika mencapai koma.
ReplyDeleteAda faktor lain sih sebenernya. Dia 'kan senimannya dan ini adalah acaranya, tapi pas dia ngomong kayak bukan dia sebagai tokoh utamanya. Malu-malu, suara tidak pede, dan menggantung.
Kalau dibandingkan dengan karya orang lain di pameran lain yang pernah kamu datangi, gimana efek karyanya? :D
ReplyDeleteHmmm... efeknya apa ya? Hmm..
ReplyDelete1. Setelah datang ke pamerannya Anna Nurfarina, membuat pengen nulis ttg seni.
2. Setelah datang ke pameran ini, enggak pengen membuat menulis ttg seni, perempuan, maupun televisi. Hehe.