Sehari Bersama Prof. Chitaru Kawasaki

Saat di Bandung, teteh saya sudah mewanti-wanti akan ada pameran keramik di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Sepertinya si teteh ingin sekali ke sana (karena dia usaha keramik) tapi suaminya tampak tidak terlalu antusias dan dia ingin saya melihat pamerannya. Awalnya saya pikir saya tidak akan sempat melihat karena saat itu masih di Bandung dan hari kerja saya habiskan di kantor hingga pukul 6 sore. Tapi ternyata pameran berlangsung lama dan kebetulan teman ngaleut, Memes, pun mengajak jalan. Lalu kami let’s go ke sana.

Saya bener-bener engga ada bayangan saya akan melihat pameran siapa. Sudah browsing sedikit tentang pameran Knot, Connection, and String Playing ini yang dibuat oleh seniman dari Jepang. Saat pertama kali melihat karya-karyanya yang tampak begitu-begitu saja (seluruh karya berupa tanah liat cokelat yang saling melengkung), saya langsung menghakimi "bosan" karena saya tidak melihat karya warna-warni.



Namun tentu saja saya salah. Apalagi saat saya dan teman-teman mendapatkan kesempatan ngobrol secara personal dengan senimannya yaitu Prof. Chitaru Kawasaki. Errr .. sebenarnya bukan kami yang mengobrol, lebih tepatnya kami ikut nyamber saat ia sedang diwawancara secara tidak formal oleh sepasang suami istri (ternyata mereka adalah orang Bentara Budaya. Pantes pertanyaannya kritis!) Apalagi Memes saat itu dengan penuh tekad terus menempel kemana pun mereka pergi. Dengan bantuan penerjemah, Pak Chitaru ini menerangkan urusan teknik dari pembuatan karyanya.



Di ruangan Galeri Nasional Indonesia ini terdapat 38 karya Bapak Chitaru (yang belakangan diketahui pecah satu) yang terbuat dari tanah liat earthenware (gerabah halus tidak padat) yang dibakar dengan suhu 700 derajat. Sebenarnya suhu tersebut engga tinggi-tinggi amat dibandingkan tanah liat stoneware yang bisa mencapai 2.000 derajat.

Untuk pewarnaannya, ada teknik tradisional yaitu pengasapan daun yang dibakar, sehingga karya-karya Bapak Chitaru ini tidak pakai bahan kimia seperti glasir. Berbeda dengan Jepang yang menggunakan daun pinus, Bapak Chitaru membakar daun munggur (daun yang berasal dari Lombok dan mudah didapatkan) sehingga warnanya kecokelatan. Kalau di Jepang, pengasapan dilakukan di ruang tertutup sehingga warnanya menjadi hitam. Setelah berwarna, keramik yang berbahan earthenware ini digosok dengan plastik sampai halus dan mengkilat. Kenapa bisa mengkilat? Karena earthenware mengandung besi!

Jika diperhatikan secara detil, ada beberapa aksen emas yang berada di retakan karyanya. Rupanya retakan itu sengaja dipertahankan untuk hiasan. Teknik pemberian aksen pada retakan ini namanya kintsugi (kin artinya emas) yang sudah ada ratusan tahun yang lalu di Jepang.

Karya-karya yang dipamerkan ini dibuat selama dua tahun. Bapak Chitaru bukan tipe orang yang mengejarkan satu karya dalam periode tertentu, tetapi ia bisa mengerjakan tiga karya sekaligus. Keramik-keramiknya dipilin satu persatu hingga bisa melengkung dan saling melilit. Lengkung, ikatan, dan lilitan pada karyanya ini memiliki arti tentang dua orang yang menjadi satu. Mereka saling melilit namun terlihat indah. Ia menekankan tentang hubungan antara manusia pada karyanya. Baginya, seseorang baru dikatakan “manusia” jika ia berhubungan dengan orang lain.

Wah, setelah tahu maksudnya, saya jadi lebih bisa menikmati karya-karyanya. Ternyata indah juga! Misalnya karya tentang keluarga yang terdiri dari tiga figur: dua figur yang melindungi yang tengah. Baginya, keluarga tidak harus bapak dan ibu, tapi dua orang yang saling melindungi bisa sebagai keluarga.

Atau karya yang ternyata terinspirasi dari jepitan jemuran. Namun lama kelamaan bisa diartikan sebagai dua orang sebagai pasangan. Di belakang “orang” tersebut terdapat detil karya yang memperlihatkan bagian dalam manusia. Pak Chitaru ingin menggambarkan manusia tidak hanya fisiknya saja, tetapi bagian dalam juga.

Lalu kenapa karya ini dipilih sebagai karya pertama yang disimpan tepat di pintu masuk? Menurut seniman, ini adalah laki-laki perempuan yang sedang berhubungan seksual. Di sinilah Pak Chitaru menjelaskan bahwa ia suka warna cokelat pada karyanya karena mengingatkan pada warna kulit perempuan Indonesia (lalu saya tersipu). Mungkin hubungan seksual adalah sejatinya hubungan antar manusia yang memerlukan perlibatan lahir dan batin. :)

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form