TOPOS/CHAOS


"Dika, lo suka engga sama karya-karyanya?"
"Engga."
"Karena engga indah ya?"
"Iya."

Kira-kira begitulah respon Andika, teman saya sekaligus Neni, yang kala itu datang bersama-sama melihat pameran TOPOS/CHAOS karya Bambang BP. Karya dengan garis merah kekisruhan atau kacau balaunya pasir, debu, kerikil, jejak, galian, lumpur, dan lainnya yang digambar menggunakan potlot diatas kanvas tidaklah "indah" dipandang mata. Tidak warna-warni, tidak feminin layaknya bebungaan, atau mungkin tidak menimbulkan perasaan senang saat melihatnya.

Memang Bale Tonggoh Selasar Sunaryo kala itu tampak biasa saja dengan hamparan gambar yang dominasi hitam, putih, dan keabuan. Monokrom. Kecuali di sisi dalam Bale Tonggoh terdapat hamparan tanah coklat di atas papan.

Berbeda dengan Dika, saya menyukai karya-karyanya, terutama ketertarikan pada detil yang digambar oleh Bambang BP pada kasarnya tekstur tanah hingga lembutnya langit berbulan. Dimensi-dimensi yang ia ciptakan melalui tebal atau tipisnya ulasan membikin gambar tanah di atas kanvas ini tampak betulan dan sungguh memiliki gestur. Apalagi kejelian dan kerapian seniman terhadap detil alat pengeruk di karyanya yang berjudul Morning Mood (2011). Juga Mud Enthusiasm (2012) yang terlihat seperti lumpur yang dilemparkan langsung ke atas kanvas. Karya-karyanya membikin saya ingin mengamati lekat-lekat, memandangi titik-titik hitam potlot yang digoreskan pada kanvas.

Detil dari Morning Mood (2011)

Mud Enthusiasm (2012)

Meski Bambang BP menggambar tanah dan teman-temannya yang ada di permukaan bumi, saya tidak melihat ini sebagai pameran kaku yang mengusung penelitian mengenai topografi. Seperti yang dikatakan kuratornya, Hendro Wiyanto, tempat (topos) ini merupakan media dimana seniman melakukan pencitraan visual secara artistik. Artistik lho ya, bukan keilmuan.

Berikut ini adalah beberapa karyanya yang saya suka:

A Manmade Arrangement (2011)

Land Gesture (2012)

Detil titik potlot dari Gravel Stories (2012)

Neni berkata bahwa pameran gambar dengan menggunakan potlot mengingatkan pameran Hikayat Sang Pohon oleh Risca Nogalesa Pratiwi di IFI Bandung. Pameran tersebut menggambarkan pohon yang bertali-tali dan saling berkait. "Kalau pameran yang itu, lebih terasa digambar pakai potlotnya. Kalau ini, tidak," ujar teman saya sambil membandingkan.

Dari sini saya jadi kepikiran bahwa arang, akrilik, cat minyak, apapun ... asal bisa mencerminkan imajinasi di alam pikiran, menjadi media belaka.

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form