Menjelajah Karees - Cikudapateuh


Perjalanan bersama Komunitas Aleut! kali ini spesial karena sejak enam tahun komunitas ini berjalan, jalur yang kami lalui pada Minggu (13/1) adalah jalur pertama dan belum pernah dilalui Aleut! sebelumnya. Walau saat itu hujan gerimis kecil-kecil nan padat, semua peserta berjalan kaki dari kawasan jalan-jalan pegunungan dan berakhir di jalan-jalan bebungaan. Kedua titik atraksinya adalah kamp konsentrasi Karees dan Cikudapateuh.

Angkutan umum yang kami carter berhenti di dekat eks toko roti Valkenet yang kini sudah rata dengan tanah demi kepentingan membangun Malaka Hotel. Sekitar tahun 2011, saya sering mondar-mandir di wilayah ini dan memperhatikan betapa cantiknya dan kokohnya bangunan yang pernah berdiri di sini tanpa tahu bahwa dulunya ini adalah sebuah toko dan pabrik roti dan memasok ke Maison Bogerijen (kini Braga Permai). Sayangnya begitu sudah tahu, bangunannya sudah rata untuk keperluan komersialisasi pariwisata apalah.

Sejarah tinggal kenangan

Kami mengunjungi si cantik Sekolah Menengah Industri Pariwisata Sandhy Putra, Bandung, diresmikan sebagai sekolah oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada tahun 1990. Menurut Fitria, salah satu murid di sana, sekolah ini pernah dipakai sebagai rumah sakit darurat pada tahun 1922. Tentu jika sudah tua begini, sekolah tidak pernah lepas dari cerita hantu, terutama rumor penunggu pohon Ficus elastica yang terdapat di bagian depan sekolah dan sudah ditanam sejak zaman Hindia Belanda. Tapi, tanpa cerita hantupun, sekolah memang sudah menyeramkan, bukan?


Jika dilihat dari segi bangunan, tidak ada perubahan kecuali pergantian warna cat (dan lantai keramik di bagian luar) dan beberapa bangunan tambahan di bagian belakang. Bangunan Belanda yang besar seperti ini umumnya dipakai sebagai sekolah, rumah sakit, dan markas tentara. Genteng yang mereka gunakan bertuliskan Tan Liok Tiauw Batavia Jaya. Sekolah ini mengingatkan pada Deetje yang terletak jauh di utara Bandung. Selain itu terdapat kesamaan pada kaca-kaca yang kecil namun banyak.

Bangunan yang terletak di Jl. Windu ini terletak di kompleks jalan pegunungan yang dibuat untuk memudahkan pencarian. Kompleks perumahan di Bandung dulunya dibagi berdasarkan kalangan penduduknya misalnya wilayah Jl. Sabang, Jl. Pulo Laut, Jl. Cihapit adalah untuk warga kalangan menengah ke bawah, wilayah Karees dan Cikudapateuh untuk warga kalangan menengah, dan wilayah Dago untuk warga kalangan menengah ke atas.

Tidak jauh dari sana, terdapat dua rumah karya Ir. Soekarno yang terletak di Jl. Gatot Subroto. Ngomong-ngomong tentang Jl. Gatot Subroto, rupanya jalan ini dulu namanya Jl. Papandayan dan Jl. Pelajar Pejuang 45 dulunya bernama Jl. Tangkuban Perahu. Isu perubahan nama jalan yang tidak ada kaitannya dengan Bandung ini menjadi kegalauan tersendiri bahwa ikon dari kota Bandung--yaitu Gunung Tangkuban Perahu--tidak ada di Bandung. Balik lagi ke rumah rancangan Soekarno, salah satu dari rumah tersebut dipakai sebagai kost-kostan untuk mahasiswa dan pegawai. Sayangnya plakat karya Ir. Soekarno yang biasanya terletak di bawah nomer rumah sudah dicopot sehingga tidak ada penanda.


Kami melanjutkan perjalanan melalui jalan kecil yang becek dan berliku yang berujung pada sungai buatan anak Cikapundung. Di sungai tersebut terdapat sebuah gorong-gorong dimana Bang Ridwan bercerita tentang Pans Schomper, anak dari pemilik hotel yang kini menjadi Hotel New Naripan, yang ditawan di kamp konsentrasi di Cikudapateuh sementara ibunya ditawan di Karees. Schomper nekat melalui di gorong-gorong yang menghubungi Cikudapateuh ke Karees untuk minta makanan dan obat-obatan di kamp yang khusus untuk anak-anak dan perempuan. Sayangnya ia tidak berhasil melakukan tindakan lintas gorong-gorong di kali kedua karena tertangkap. Pada tahun 1990an, ia menuliskan kisahnya dalam buku "Selamat Tinggal Hindia" yang kini sulit ditemukan karena sudah tidak dicetak lagi.

Kira-kira gorong-gorong itu seperti ini

Akhirnya kami akan mendatangi sebuah sekolah yang sudah membuat penasaran di hari sebelumnya karena fotonya dipasang di Twitter. Sekolah tersebut adalah SD Negeri Centeh yang dibangun dari tahun 1925. Sekolah ini dulunya tempat praktek pelajar Kweekschool (yang kini gedungnya menjadi Polwiltabes yang terletak di Jl. Merdeka). Di pintu masuk sekolah terdapat sebuah patung yang merupakan direktur sekolah SD Negeri Centeh. Di sebelah kiri dan kanan terdapat sebuah plakat berbahasa Belanda berisi nama-nama orang yang berkontribusi pada pembangunan sekolah ini.



Rupanya sekolah ini juga pernah menjadi rumah sakit. Bentuk bangunannya tidak megah seperti SMA 3 atau SMA 5. Pondasinya hanya setengah dinding yang terbuat dari batu kali. Begitu masuk ke SD ini, kami melihat beberapa warga yang sedang beraktivitas karena karena sekolahannya menyatu dengan beberapa rumah warga.

Nama Centeh tidak familiar bagi saya. Rupanya Cente(h) ini merupakan tumbuhan liar yang sifatnya merambat dan sering dijadikan bunga pagar. Selain memiliki duri, tumbuhan yang dikenal sebagai saliara (lantana) ini menghasilkan buah-buah kecil yang disukai burung cangkurileung. Sifatnya yang merambat ini melahirkan istilah Sunda "nyaliara" yaitu merambat kemana-mana.

Tidak jauh dari SD Negeri Centeh terdapat Stasiun Cikudapateuh. Nama Cikudapateuh memiliki sejarah namanya sendiri. Cikudapateuh merupakan nama dari istal kuda (dalam bahasa Sunda disebut "banceuy") yang khusus menampung kuda-kuda cacat karena dalam bahasa Sunda "pateuh" memiliki arti cacat yang biasanya diakibatkan karena patah tulang. Sebagai pengetahuan tambahan, banceuy biasanya dikelola oleh warga Tionghoa dan di sekitar banceuy selalu terdapat tempat istirahat atau pesanggrahan. Setelah beristirahat, pengendara tidak akan menggunakan kuda yang sama, oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan antara kuda cacat dan kuda sehat.

Kini kalau lewat Cikudapateuh jadi paham ya sejarahnya, saudara-saudara?

Di dekat stasiun Cikudapateuh, Bang Ridwan bercerita bahwa rel yang ada pertama kali di Jawa terletak antara Semarang ke Desa Mayon yang terletak di Jepara. Stasiun pertama yang terbuat dari kayu dan berada di Desa Mayon itu dipindahkan ke Magelang dan digunakan sebagai kantor dari pemilik sebuah resort di sana. Ngomong-ngomong tentang pos penjaga, terdapat pos penjaga yang ditetapkan sebagai cagar budaya yang terletak di dekat Gedung Landmark di Jl. Braga. Sayangnya mungkin sedikit orang yang sadar bahwa itu bersejarah dan hanya dilihat selewat saja.

Pada tahun 1884, dibuat jalur rel dari Bogor, Cianjur, Padalarang, dan berujung pada stasiun Bandung yang letaknya dekat St. Hall yaitu Jl. Stasiun Barat (bukan Jl. Kebon Kawung, ya.) Kemudian jalur kereta dilanjutkan ke Cilacap untuk keperluan militer. Kemudian pada tahun 1912, dibangun jalur rel kereta api ke Jatinangor yang sisanya bisa dilihat hingga sekarang yaitu Jembatan Cincin. Oh ya, sebagai tambahan, di Tanjung Sari terdapat sebuah desa bernama SS yang namanya diambil dari nama perusahaan pembuka jalur rel.

Ternyata Bandung juga dulu dikenal sebagai penghasil tekstil sampai tahun 1970an. Salah satu pabriknya bisa dilihat di Jl. Jendral Ahmad Yani yaitu PT. Krishna Batara yang kami lihat secara sekilas saja. Selain itu kami mampir ke Gereja Salib Suci. Di sini terdapat sebuah plakat yang terdiri dari nama biro yang juga mendirikan Javasche Bank di nusantara.


Gereja Salib Suci

Di sini Bang Ridwan mengeluarkan pertanyaan trivia: di manakah gereja tertua di Bandung? Jawabannya: Gereja Pasundan yang letaknya di depan Hotel Soerabaja yang dibangun tahun 1890. Hore!

Setelah dari sana, kami melakukan sesi berbagi kesan di SD Soka. Maka berakhirlah perjalanan hari itu sebagaimana berakhirnya catatan perjalanan bareng Komunitas Aleut! yang saya tuliskan kali ini. Kalau tidak bersama mereka, tentunya saya tidak akan tahu tentang sejarah, letak suatu tempat yang bahkan saya kira tidak ada, juga lika-liku rumitnya jalan tikus di Bandung.

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

5 Comments

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

  1. tulisannya menarik sekali mbak. Rasanya memang nggak banyak yang tertarik dgn sejarah kotanya. Seru juga nih, moga2 suatu waktu bisa ketemu di jalan, krn saya jg warga bandung kala weekend. hahaha

    ReplyDelete
  2. Wah iya, serendipity ya, mas. Hehe.

    ReplyDelete
  3. Horeee... akhirnya sempat baca :D

    ReplyDelete
  4. Nalendra7:44 AM

    Mbak, bisa punya referensi tulisan tentang sejarah Jalan Ibu Karees nya saja gak mbak? Tolong dibantu dong mbak kebetulan saya sedang mendapatkan tugas

    ReplyDelete
  5. Nalendra, maaf, saya enggak punya. 😊

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Contact Form