Kampung di Tengah Kota

Tidak jauh dari jalan utama Dago, bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 15-20 menit menuju belokan yang berada di depan Hotel Sheraton, terdapat sebuah kampung yang punya keistimewaan. Namanya Kampung Wisata Kreatif Dago Pojok. Jika mendengar kata kampung, biasanya yang terbayang adalah kumuh, dipenuhi rumah semi permanen, dan terbelakang. Tapi kampung ini terdiri dari rumah permanen yang ada di dalam gang, jadi seperti pemukiman padat saja.

Kampung Kreatif diresmikan empat tahun lalu, tapi saya belum pernah ke sana. Saat teman saya, Memes, posting ajakan terbuka untuk pergi ke Kampung Kreatif, saya tertarik. Saya mengajak si pacar yang biasanya suka dengan hal-hal kreatif. Hehe. Maka, pergilah kami pada hari Sabtu (3/10) kemarin.

Setelah bertemu dengan Memes, ia mengajak kami untuk masuk ke dalam gang. Kami disambut dengan gang warna-warni penuh dengan mural, lukisan, instalasi kendi, hingga lampu gantung yang dihias di depan rumah. Ada juga pot-pot yang dibuat vertikal dengan kalimat-kalimat aspirasi di atasnya.






Di sana juga ada sebuah tempat workshop batik. Namanya Batik Fractal. Perbedaannya dengan batik lainnya adalah motif dibuat dari rumus matematika yang diformulasikan dengan menggunakan software. Keren amat. Inovasi anak bangsa ini! Namun untuk membatiknya sih tetap manual, yaitu masih menggunakan cetakan.

Setelah melihat sebentar, kami jalan kaki ke arah Curug Dago. Kami melewati jalan kecil yang penuh dengan pemukiman warga. Jalan semakin kecil hingga tembus ke sebuah lapangan yang luas dengan pemandangan perkebunan, sawah, dan secuil hutan di Dago.

Di tengah pepohonan yang rimbun, kami melewati work shop Saeh. Saeh merupakan daun yang seratnya digunakan untuk kertas tradisional, biasanya dikenal sebagai kertas Daluwang. Tapi kalau di tanah Pasundan, kertas ini disebut Saeh. Sayangnya saat kami datang, tempatnya sedang tutup sehingga kami tidak bisa melihat kertasnya dan cara pembuatannya.


Tidak jauh dari situ, kami melihat sebuah saung yang penuh dengan anak-anak yang sedang belajar pencak silat. Nama tempat itu adalah Perguruan Pencak Silat Si Macan Tutul. Rupanya anak-anak itu rutin belajar pencak silat setiap hari Sabtu sore. Selain paguron pencak silat, barangkali tempat ini bisa disebut pusat kesenian karena sering ada yang latihan Tari Jaipong dan bisa melakukan permainan anak kecil zaman dulu seperti bermain engrang. Serunya, anak-anak di sana mengajak kakak-kakak mahasiswa yang datang untuk bermain bersama.



Saat itu waktu masih sore. Matahari sedang emas-emasnya. Senang sekali lihat orang-orang saling bercengkrama dan tertawa. Sementara saya dan si pacar foto-foto di sawah saja dan belajar main Engrang yang ternyata susah. Huhu.

Sebetulnya potensi wisata di sini banyak. Memes, teman saya yang peduli terhadap potensi Dago Pojok ini, meluangkan waktunya untuk mengajak orang-orang untuk datang dan melihat apa saja yang ada. Namun ia menyayangkan kalau masyarakat di sini baru berperan aktif kalau acaranya masif setahun sekali seperti festival Dago Pojok yang diadakan setiap tahunnya. Misalnya untuk tahun ini, festival akan diadakan bulan depan. Padahal agar menjadi sebuah tempat wisata yang berkelanjutan, masyarakat juga harus konsisten berperan aktif. Kalau kata saya, contoh kecilnya bisa membuka work shop atau memamerkan karya setiap akhir pekan. Atau ikut memperbanyak gambar mural sendiri, dibandingkan digambar oleh pelukis yang berasal dari luar warga Dago Pojok, seperti mahasiswa seni rupa entah dari kampus mana.

Memes menutup kegiatannya dengan mengajak para peserta untuk ngaliwet alias makan bersama di atas daun pisang. Kami makan ikan asin, tempe goreng, dan jengkol. Hihi. Makanan tersebut mereka beli dari penduduk sekitar, dari uang yang kami kumpulkan sebelumnya. Nah, seru 'kan jika kegiatan seperti ini bisa membawa pemasukkan terhadap warga.

Kampung Kreatif ini kalau sudah matang dan ter-manage dengan baik akan seru. Karena secara lokasi pun sangat mudah dikunjungi. Selain itu juga menyajikan apa yang selalu dirindukan setiap orang: keindahan alam. Semoga terus berkelanjutan!

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

3 Comments

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

  1. Lukisann muralnya keren-keren, teh. SAlam kenal dari urang Bandung juga. Hihihi SAya malah belum pernah ke sana.

    ReplyDelete
  2. Kren ya dekorasi muralnya. Kok saya ga mudeng ada kampung keren ini heheehe.... salam kenal, teh.

    ReplyDelete
  3. Halo Efi.. salam kenal juga!

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Contact Form