Membaca Skala, Mengartikulasikan Makna

Mendengar kata "skala", biasanya terbayang sebuah ukuran. Tapi bagi Rizki A. Zaelani dan Asikin Hasan, dua orang kurator seni, "skala" tidak hanya sekadar membandingkan jarak, melainkan menerjemahkan secara jelas makna dari hal-hal secara mental dan konseptual. "Skala" ini dijadikan tema dari pameran Trienal Seni Patung Indonesia yang ke-3.

Karena penasaran dan sudah lama tidak pernah main ke galeri, saya dan teman saya memutuskan untuk pergi ke Galeri Nasional. Di sini terdapat 46 pematung Indonesia yang beberapa saya kenal seperti Asmudjo, Nyoman Nuarta, Sunaryo, dan Eko Nugroho.

Seperti yang ditulis di atas bahwa pameran ini bermaksud untuk mengartikulasikan makna dari hal-hal yang ada di sekitar itu maksudnya kenangan dan imajinasi tentang budaya yang kita hidupi. Tidak hanya bersifat materi seperti kumpulan objek, barang, atau benda-benda, kebudayaan merupakan aneka kejadian dan pemahaman individu terhadap sesuatu yang terus berubah. Seni patung menjadi produk kebudayaan yang dapat menangkap bentuk budaya yang bersifat hidup.

Jujur, melihat karya 46 pematungnya ini saya tidak sepenuhnya mengerti. Saya juga tidak berusaha menduga-duga kenangan dan imajinasi apa yang coba ditangkap oleh para pematungnya. Jadi, saya mencoba menikmatinya saja, membayangkan proses kreatif para pematung atau cara pembuatannya secara teknis. Ada beberapa yang suka, ada yang tidak. Ini dia beberapa contoh karya yang ditampilkan di sana.

Pengembala Negri karya Wilman Syahnur

Chinese God of War karya Ichwan Noor

Savage Orchid karya Nus Salomo

Mengukur Lebur karya Budi Kustarto

Expectasi Hurup karya Nardi

Gerak Sunyi karya Putu Sutawijaya

Beberapa karya yang saya suka adalah "Chinese God of War" yang tampak keren, kokoh, mudah dimengerti maksudnya, dan sangat rinci. Orang yang berpendar sambil memegang tangga pada karya "Mengukur Lebur" juga menarik dan tampak modern--walau saya tidak mengerti maksudnya, juga karya "Gerak Sunyi" yang menurut saya sangat indah, terutama refleksi bayangannya.

Tapi dari semuanya, mungkin karya yang paling saya suka adalah Pengembala Negri. Alasannya sederhana: mengingatkan saya pada sosok presiden yang saya idolakan. Sangat relatable. Hehe. Patung putih begitu bagus ketika terlihat kontras dengan latar belakang warna hitam. Dan meja domba-domba yang diletakkan di atas meja terlihat seperti sebuah perjamuan.

Namun sayangnya melihat karya-karya yang jumlahnya banyak ini tidak membuat jiwa saya yang kering merasa puas atau kenyang. Setelahnya tidak menimbulkan perasaan menyenangkan seperti saat saya menghadiri pamerannya Agus Suwage dan Raden Saleh. Ya, pengalaman berbeda-beda dan tidak semestinya dibanding-bandingkan. Dan seharusnya kita datang ke artist talk-nya untuk tahu makna-makna yang mereka tangkap.

Jika kamu tertarik, kamu bisa mendatangi Galeri Nasional yang letaknya di depan stasiun Gambir. Pamerannya berlangsung sampai tanggal 26 September 2017. Siapa tahu kamu bisa mendapatkan artikulasi makna yang dimaksud oleh pematungnya. :)

Nia Janiar

Seorang penulis yang bekerja di agensi kreatif di Jakarta. Pernah bekerja sebagai jurnalis di salah satu media ternama di Indonesia. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Di sela kesibukan menjalani passion menulis dan home maker, senang baca buku sastra Indonesia dan mengunjungi pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form