Melting Pot Para Seniman Sedunia

Terbayang tidak rasanya jadi orang kaya yang memiliki 800 karya seni nasional dan internasional? Haryanto Adikoesoemo adalah orang beruntung itu. Dari ratusan karya seni koleksinya, ia memamerkan 90 karyanya di sebuah museum yang ia dirikan yaitu Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum MACAN). Museum ini berada di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan baru dibuka pada tanggal 7 November lalu.

Pertama kali saya kenal Musem MACAN karena Aaron Seeto, Direktur Museum MACAN, hadir di acara pembukaan pameran re-emergence di Selasar Sunaryo Art Space yang saya hadiri saat itu. Saya pikir kok namanya lucu yaitu "macan". Mulanya malah saya kira museum ini tentang binatang. Dan saat browsing, kok museum ini dekat dengan tempat tinggal saya tapi saya tidak pernah tahu keberadaannya. Jadi semakin penasaran dong ya. Namun setelah lihat Instagram-nya, saya jadi bingung ini sebetulnya museumnya sudah buka atau tidak. Kok terlihat segmented dan eksklusif.

Hingga akhirnya atasan saya mengunggah sebuah foto di group WhatsApp kantor. Ternyata ia sedang menghadiri pembukaan Museum MACAN. Wah! Pantas saja Instagram Museum MACAN terlihat membingungkan, ternyata memang belum dibuka untuk umum. Saya jadi browsing lebih lanjut tentang museum ini. Ternyata museum ini mengenakan tiket masuk yaitu Rp50 ribu untuk umum. Karena terbiasa masuk gratisan ke berbagai galeri di Jakarta, saya jadi merasa tiketnya lumayan mahal yaa. Hehe. Eh, syukurnya atasan saya berbaik hati memberikan tiket masuk :D

Ok, stop curhat. Mari balik lagi ke Museum MACAN.

Rupanya Haryanto sudah mengumpulkan karya seni semenjak 25 tahun yang lalu. Koleksinya tersebut dikurasi oleh Agung Hujatnikajennong dan Charles Esche sebagai ko-kurator. Kalau Charles Esche, pengumpulan karya seni ini bermula dari penempatan koleksi Indonesia di posisi sentral dalam narasi pameran dan menariknya ke luar ke arah internasional. Jadi, museum ini lengkap sekali karena menampilkan karya 70 seniman dari berbagai negara di Asia, Eropa dan Amerika. Senang!


Suasana di dalam Museum MACAN.

Berkunjung ke Museum MACAN menawarkan pengalaman baru untuk saya karena ada beberapa nama terkenal yang saya ketahui seperti S. Sudjojono dan Raden Saleh tapi lukisannya belum pernah saya lihat sama sekali (ya iyalah, namanya juga koleksi pribadi). Padahal saya sudah pernah ke pameran tunggal Raden Saleh di Galeri Nasional lho. Seru saja, jadi ada referensi baru. Dan yang lebih menarik adalah di sini banyak karya Indonesia yang belum pernah dipamerkan secara publik, termasuk karya Sudjana Kerton, Miguel Covarrubias, Trubus Soedarsono, dan Nashar. Begitu pula karya-karya seniman internasional yang belum pernah ditampilkan di Indonesia, termasuk karya Robert Rauschenberg, Park Seo-Bo, Mark Rothko, Gerhard Richter, Damien Hirst, dan Yukinori Yanagi.

Karya-karya seni dikategorikan menjadi empat bagian tematis berdasarkan periodenya yaitu Land, Home, People; Independence and After; Struggles Around the Form; dan The Global Soup. Di sini juga bisa dilihat bahwa karya para seniman dipengrahui oleh gerakan sosial dan politik pada saat itu. Misalnya S. Sudjojono yang melukis laskar pejuang yang sedang "ngaso" atau istirahat di antara reruntuhan bangunan atau Dullah yang melukis Bung Karno.

Ngaso karya S. Sudjojono

Bung Karno di Tengah Perang Revolusi karya Dullah

Kalau saya lebih senang melihat lukisan-lukisan baru. Alasannya sederhana yaitu temanya lebih segar, lebih relevan dan lebih banyak warna. Hehe. Misalnya saya suka sekali dengan lukisan Jean-Michel Basquiat, hampir berteriak saat lihat lukisan Andy Warhol pertama kalinya karena dia itu kan legend dan baru lihat karyanya di depan mata, serta lukisan fenomenal I Nyoman Masriadi. Mengapa fenomenal? Karena karyanya Man from Bantul (2008) terjual empat kali dari perkiraan di sebuah lelang di Hong Kong!

Portrait of Madame Smith karya Andy Warhol

LF karya Jean-Michel Basquiat

Juling karya I Nyoman Masriadi

Yang saya suka dari karya Masriadi adalah ia menggambarkan manusia dengan unik, wajahnya digambarnya dengan hiperbolis, dan mengingatkan pada gambar komik, animasi, serta game digital. Selain itu, karya Juling sangat merepresentasikan keadaan sekarang yaitu orang-orang sangat fokus dengan gadget yang dimiliki.

Tentu yang paling digemari oleh para pengunjung adalah Infinity Mirror Room karya Yayoi Kusama. Antreannya menggila. Setiap orang boleh masuk satu per satu dan diberi waktu selama 40 detik untuk foto di dalam. Saya tidak sempat masuk karena kaki sudah tidak kuat berdiri. Padahal biar bisa pamer dan eksis kan di Instagram. Hihi. Ya sudah, akhirnya saya foto patung karya Yayoi yang berjudul Tulip With All My Love.

Karya Yayoi khas dengan pola polkadot dan permainan warna yang kontras.

Saya senang bisa datang ke Museum MACAN karena saya dapat banyak referensi dalam satu tempat. Tidak hanya seniman dalam negeri saja, saya bisa melihat karya seniman luar negeri. Sayangnya kunjungan saya sangat terganggu dengan orang-orang yang datang untuk selfie, menjadikan lukisan sebagai photo booth sehingga saya harus mengalah atau menunggu mereka selesai foto (tapi seringnya saya cuek bablas bodo amat masuk frame). Bahkan saya diusir secara harus "permisi, mbak" karena dia mau foto di lukisan yang saya tengah lihat, atau diganggu minta tolong foto sebuah kelompok saat saya sedang istirahat. Meh. Semua orang berlomba-lomba untuk terkenal demi meniti karier sebagai model dengan Instagram sebagai agensinya.

Karena yang mengesalkan adalah mereka melakukan selfie tidak sebentar. Foto dari depan, dari belakang, pura-pura pegang handphone, pura-pura jalan. Belum lagi sengaja memakai baju terbaik. Sebagai catatan, lokasi serta harga tiket masuk menyaring pengunjung yang datang ke Museum MACAN, bukan tipikal anak sekolahan menengah atau menengah ke bawah yang biasa saya lihat kalau berkunjung ke Galeri Nasional. Jadi, orang-orang yang terlihat educated dan mampu secara finansial jika dilihat berdasarkan penampilan, ternyata perilakunya norak juga.

Eh, kok negatif amat, sis?

Anyway, sebelum saya pulang, saya menemukan sebuah ruangan yang ditujukan untuk anak-anak. Ruangan ini bernama Ruang Seni Anak, karya Entang Wiharso. Ruangan dihias dengan karya yang sangat bagus, unik, dan warna-warni. Sayangnya saat itu penuh sekali sehingga masuk ke sana terasa menyesakkan.



Museum MACAN adalah salah satu museum yang wajib dikunjungi kalau kamu di Jakarta. Supaya lebih bisa menikmati tanpa gangguan orang selfie, sebaiknya datang di hari dan jam kerja ya. Hehe. Dan walaupun museumnya tutup pukul 19.00, Infinity Mirror Room ditutup pukul 17.00. Jadi, bersiaplah!

Nia Janiar

Seorang penulis yang bekerja di agensi kreatif di Jakarta. Pernah bekerja sebagai jurnalis di salah satu media ternama di Indonesia. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Di sela kesibukan menjalani passion menulis dan home maker, senang baca buku sastra Indonesia dan mengunjungi pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form