Romeo Juliet dari Citepus*

Hampir seabad yang lalu dari tahun Monyet Api ini, yaitu tahun 2467 atau tahun 1917 dalam kalender Masehi, sebuah roman terbit di Bandung. Roman yang bertajuk Rasia Bandoeng: Atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917 ini bukanlah roman biasa karena semua ceritanya berdasarkan kisah nyata yang bercerita tentang kehidupan percintaan warga Tionghoa yang kala itu dianggap "aib" karena melanggar adat istiadat di kalangan kaum Tionghoa. Penulisnya anonim, hanya menggunakan nama pena Chabanneau. Untuk pengetahuan, Chabanneau adalah sebuah merek cognac. Dan nama-nama tokoh di novel ini disamarkan, namun inisial yang digunakan sama.

Chabanneau menulis kisah tentang Tan Gong Nio (kemudian diceritakan dengan nama baratnya yaitu Hilda) dan Tan Tjin Hiauw. Keduanya memiliki marga yang sama yaitu Tan. Pada masa itu, menikah dengan marga yang merupakan hal yang dilarang karena dianggap memiliki hubungan saudara dan dapat menimbulkan kecacatan pada keturunannya.

Perkenalan Hilda dengan Tan Tjin Hiauw bermula saat dikenalkan oleh Helena yaitu Margareth Thio, kakaknya Hilda, yang merupakan teman Tan Tjin Hiauw. Saat itu Hilda masih sekolah dengan didikan ala Eropa, sementara Tan Tjin Hiauw sudah bekerja. Karena hubungan mereka terlarang, otomatis hubungan mereka dijalankan secara diam-diam. Surat-surat yang mereka gunakan sebagai alat komunikasi dikirimkan melalui kurir. Berbeda dengan keluarga Hilda yang cenderung konservatif, keluarga Tan Tjin Hiauw cenderung membebaskan anak memilih untuk berhubungan dengan orang yang satu marga. Bahkan keluarga Tan Tjin Hiauw membantu Hilda lari dari rumah dan disembunyikan.

Untuk bisa bersatu dengan Tan Tjin Hiauw, Hilda rela meninggalkan keluarganya dan kabur ke Surabaya, kemudian Makassar, dan menikah di Singapura. Karena sakit hati, ayah Hilda yaitu Tan Djia Goan, mengumumkan di surat kabar Sin Po pada 2 Januari 1918 bahwa Hilda bukanlah bagian dari keluarga mereka lagi. Dihapus dari ahli waris.

Kisah percintaan mereka bocor karena seorang pria yang bernama Lie Tok Sim membocorkan surat-surat curhatan Hilda yang dikirimkan kepadanya. Lie Tok Sim adalah seorang pria yang menyukai Hilda namun Hilda tidak membalas cintanya. Dalam surat-suratnya itu, Hilda bercerita bahwa ia mencintai Tan Tjin Hiauw dan kemudian Hilda meminta Lie Tok Sim untuk membakar surat-surat tersebut. Karena sakit hati, Lie Tok Sim memberikan surat-surat itu kepada Chabanneau dan dijadikan sebuah roman. Roman ini digunakan untuk memeras keluarga Hilda untuk mengirimkan sejumlah uang. Karena tidak ditanggapi, maka roman ini pun dipublikasikan.

Roman ini pernah dituliskan di surat kabar Pikiran Rakyat melalui liputan investigatif oleh Lina Nursanty pada momen Imlek tahun 2015 lalu. Dalam momen Tjerita Boekoe: Rasia Bandoeng yang diadakan oleh Kedai Preanger dan Komunitas Aleut! pada 20 Februari kemarin di sebuah kafe di bilangan Jalan Jendral Sudirman, Bandung, Lina mengatakan bahwa roman ini pernah dibahas oleh seorang sejarawan dan feminis Kanada yaitu Tineke Hellwig. Hellwig membahas mengenai sebuah perjuangan yang dilakukan Hilda dalam menentukan pilihan hidupnya.

Berbeda dengan Hellwig, peneliti lain James T. Siegel melihat melalui roman ini bahwa orang-orang Tionghoa juga berkontribusi pada pergerakan nasional. Kemampuan bahasa untuk menerjemahkan isi buku atau surat kabar yang dimiliki Hilda dan Tan Tjin Hiauw sebagai kalangan terdidik berperan untuk mempercepat proses penyebaran ide revolusi di kalangan kaum muda. Apalagi Tan Tjin Hiauw merupakan salah satu penerjemah terbaik kala itu.

Hal yang menarik dari diskusi buku ini adalah acara diselenggarakan di sebuah kafe yang dulunya merupakan sebuah rumah yang dihuni oleh Tan Sim Tjong, kakek dari tokoh Tan Tjin Hiauw. Letak rumahnya berada di depan rumah kapiten Tionghoa yang menjabat sebagai opsir tahun 1888-1917. Rumah Tan Sim Tjong memiliki taman di tengah rumah yang luas dan asri. Meskipun kepemilikannya sudah berbeda dan dipotong-potong menjadi paviliun, tidak banyak perubahan pada rumah ini. Keluarga Tan Sim Tjong sering menanam pohon jeruk sehingga kawasan ini dikenal sebagai Kebun Jeruk.





Dalam diskusi, hadir Charles Subrata yang merupakan keponakan asli dari Tan Tjeng Hoe, yang merupakan nama asli dari tokoh Tan Tjin Hiauw. Charles dan keluarganya bermisi untuk mencari makam sang kakek yaitu Tan Sim Tjong. Ternyata makam Tan Sim Tjong ditemukan di Cijerah dengan pahatan "nama" dan pahatan "kampung asal" yang hilang dari nisan. Sehingga muncul dugaan bahwa ada pihak yang ingin menghilangkan jejak makam Tan Sim Tjong.

Buku Rasia Bandoeng terdiri dari tiga jilid. Jilid pertama yang ditulis Chabanneau bercerita tentang latar belakang kota Bandung dan latar belakang tokoh, jilid kedua bercerita tentang polemik percintaan tokoh, dan jilid ketiga bercerita tentang penyelesaian dari polemik tersebut. Semua buku ditulis dengan ejaan lama yang pasti membuat pembaca terbata-bata saat membacanya.

Agar bisa dibaca oleh kalangan luas,Komunitas Aleut dan Kedai Preanger sudah menyalin ulang ketiga jilid Rasia Bandoeng dengan perubahan minimum dan berencana menerbitkannya kembali dalam waktu dekat ini. Perubahan minimum yang dilakukan hanya mengubah ejaan lama menjadi ejaan baru saja sementara tata bahasa dan penggunaan kata-kata lama yang sudah tidak umum dipakai tetap disalin sesuai pemakaian dalam buku. Untuk keperluan ini, tim Kedai Preanger juga mereka-ulang sampul buku Rasia Bandoeng sesuai dengan aslinya. Nah, bagi yang berminat mengetahui perjalanan percintaan Romeo dan Juliet dari Citepus ini dapat menunggu terbitan ulang dari Kedai Preanger dan Komunitas Aleut ini.

Selain mengenai polemik antara Hilda dan Tan Tjin Hiauw, dalam roman ini juga pembaca bisa mengetahui keadaan Bandung dan pengaruh orang-orang Tionghoa terhadap pegerakan ekonomi saat itu. Misalnya, ayahnya Hilda, yang memiliki nama asli Tan Jin Gi, memiliki sebuah pabrik tepung tapioka, usaha batik yang maju, mendirikan Hotel Surabaya, dan memiliki perkebunan teh Negara Kenaan di Ciwidey. Saat itu, orang Tionghoa yang memiliki perkebunan teh di tengah-tengah perkebunan teh yang dimiliki orang Belanda adalah sebuah pencapaian. Sekarang, perkebunan teh tersebut dimiliki oleh KBP Chakra.

Setelah terbitnya novel ini, Hermine Tan disebutkan bermukim di Belanda setelah menikah lagi dengan seorang warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia. Di negeri yang terkenal dengan bunga tulip ini, ia menutup kisahnya, tidak menceritakan hal ini kepada anak dan cucunya, hingga ia tutup usia.


-----------
Untuk diingat:
Tokoh perempuan bernama Hilda memiliki nama asli Hermine Tan
Tokoh pria bernama Tan Tjin Hiauw memiliki nama asli Tan Tjeng Hoe
Tokoh ayah dari Hermine bernama Tan Djia Goan memiliki nama asli Tan Jin Gi. Kisah Tan Jin Gi pernah saya tulis di Desas-Desus Bawah Tanah.

*Judul diambil dari kutipan Charles Subrata yang menggambarkan kisah Hilda dan Tan Tjin Hiauw.

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

2 Comments

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

  1. Lagi baca buku ini..semoga bisa selesai :)
    salam kenal

    ReplyDelete
  2. Haloo Helvry. Makasih udah berkunjung ke sini ya! Semoga selesai dan salam kenal!

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Contact Form