Kalau bicara tentang politik, kesan yang timbul di benak saya adalah kotor, segala yang haram dihalalkan, kepentingan pribadi, dan semua itu tidak dilakukan oleh orang-orang bertato, melainkan orang-orang berdasi. Kalau menghadiri pameran seni yang bertema politik, kesan yang biasanya datang adalah panas dan jengah karena penuh kritik dan aura negatif. Intinya, saya bukan fans seniman yang mengkritisi politik. Hingga akhirnya saya melihat pameran Eko Nugroho.
Nama Eko Nugroho terdengar saat ia berkolaborasi dengan
brand fashion ternama Louis Vuitton. Ia mendesign
scraf yang penuh warna--langsung jatuh hati. Saat itu juga saya
browsing tentang seniman yang berkediaman di Yogyakarta ini. Karya-karya yang lainnya juga bagus, bikin saya ingin lihat secara langsung. Foto karya yang paling saya ingat adalah ia menggambar sebuah lorong di bagian kiri, kanan, atas, dan bawah lorong secara masif.
Hari ini saya niat sekali datang ke Salihara yang notabene cukup jauhh dari tempat saya. Tapi ini kesempatan yang sayang jika dilewatkan. Kapan lagi ia akan pameran di Jakarta? Dan setelah melihat akun media sosial orang-orang yang pernah ke sana membuat saya ingin melihat secara langsung.
Pameran yang berjudul
Landscape Anomaly ini memperlihatkan cara pandang seniman terhadap politik. Eko mengemukakan hal-hal asing yang terjadi di dalam hal yang "normal" dan seharusnya tidak menjadi standar atau dianggap sebagai sebuah kewajaran. Misalnya, di karyanya yang berjudul
70 Tahun Dibuai, Eko membuat sebuah instalasi rumah semi permanen yang isinya lengkap dengan bantal dengan tempelan iklan-iklan di dindingnya. Di satu sisinya, terdapat sebuah papan bertulis "Kita punya mimpi dan akan selalu hanya menjadi mimpi". Sementara di luar bangunan terdapat papan yang dicat Dirgahayu ke-70 Republik Indonesia.
Rumah semi permanen, atau biasa yang disebut bedeng, adalah hal yang sering kita lihat di negeri ini. Di pinggir jalan, di lahan kosong meskipun berada di lingkungan mewah, atau yang lebih banyak ada di pinggir rel kereta api. Pasti yang miskin yang berada di rumah bedeng. Padahal sudah 70 tahun merdeka, seharusnya kemiskinan sudah tidak ada. Barangkali itu yang anomali yang dimaksud. Kalau bukan
mah maaf-maaf saja yah karena itu interpretasi pribadi. Hehe.
Eko juga membuat banyak patung-patung dengan segala atributnya seperti yang di bawah ini:
|
Fasis Franchise (kiri) dan Multi Dihasut Mono (kanan) |
|
Hypocrite |
|
Membaca Bangsa dalam Diri |
|
Pengabdian adalah penjara, Kebebasan Hanyalah Muslihat |
|
Untitled (Petualang Berbahasa Hitam) |
|
Happy Dilema
|
|
Disekap Kesejahteraan, Dibutakan Kebahagiaan |
Dari semua karyanya, saya paling suka dengan karya
Hirearchy of Prosperity #2. Semenjak pemerintah menghilangkan minyak tanah dan meminta masyarakat untuk menggunakan gas (kemudian banyak berita gas 3 kg yang meledak dan memakan korban--bisa jadi karena kemasannya tidak becus atau masyarakat tidak tahu cara memakainya karena tidak biasa--oh ini lebih miris lagi) dan harga gas terus naik, hanya orang-orang kaya yang bisa menggunakan gas. Masyarakat dibelenggu oleh barang-barang yang semakin sulit untuk dibeli.
Keluar dari galeri membuat saya berpikir. Masyarakat hanyalah bidak catur yang dikendalikan oleh beberapa orang saja. Dan masyarakat tidak punya pilihan lain untuk mengikuti, atau hanya menonton anomali.
Gw juga suka, Ni, yang Hierarchy. Surprising di dalemnya ada muka-muka orang lagi. Gas ditumpuk-tumpuk gitu juga secara visual udah narik perhatian. Kalau diliat lebih deket ternyata lebih nonjok lagi...
ReplyDeleteIyaa, Deaa.. ^^
ReplyDeleteYang namanya seniman idenya gak pernah habis.
ReplyDeleteSuka sama yang "Membaca Mangsa dalam diri"
Setuju, mbaa..
ReplyDelete