Menyemai Rasa Bersama Srihadi

Dalam rangka permintaan klien salah satu bank, saya diminta menulis tentang Srihadi Soedarsono. Tulisan tentang sebuah karya dan profil tentu akan kering jika tidak mewawancarai sang pelaku. Kebetulan di usianya yang mencapai kepala delapan, Srihadi masih berkarya. Dan ia tinggal tidak jauh dari Jakarta, yaitu kota kelahiran saya sendiri, Bandung.

Mulanya pertemuan dijanjikan di rumah anaknya di daerah Kemang. Namun karena beliau harus segera pulang ke Bandung, saya dan teman fotografer langsung meluncur ke Bandung keesokan harinya. Kami bertemu di rumahnya yang berada di daerah Ciumbuleuit. Rumahnya yang bernuansa alam ini sangat tipikal seniman: penuh kayu, batu, rumput, dan area terbuka.

Srihadi menyambut kami dengan rambut peraknya. Saat mengobrol sebentar di ruang tamu yang penuh dengan lukisannya, kami diajak ke area belakang rumah tempat ia berkarya. Di sana ada tiga lukisan kira-kira ukuran 3.5 meter yang masih berupa sketsa karena masih digarap untuk pameran tunggalnya di Singapura tahun ini. Ia bilang ia paling suka melukis di luar ruangan dengan cahaya matahari karena ia akan mendapatkan warna yang sebenarnya.

Foto oleh Permana PJ

Wawancara pun berjalan sekitar satu jam. Sebelumnya saya sudah melakukan riset sehingga bentuknya hanya pertanyaan lanjutan atau konfirmasi. Di sana Srihadi terlihat bahwa ia adalah seniman yang betul-betul mengedepankan rasa dan suasana hati. Ia adalah seseorang yang begitu ingin mengekspesikan hatinya melalui kuas. Melalui garis dan warna. Eksplorasi warna pun terus ia lakukan agar mendapatkan warna yang pas sesuai dengan maksudnya. Hijau bukanlah hijau yang keluar dari tube. Hijau adalah hijau yang ia rasakan.

Srihadi adalah pelukis tematik. Jika moodnya sudah terpaku pada satu tema, maka ia akan terus menerus melukis hal tersebut. Oleh karena itu dikenal yang namanya periode Horizon--periode dimana Srihadi menggambarkan garis batas antara langit dan bumi. Hal ini diakuinya karena renungan lama saat melihat pantai waktu ia tinggal di Sanur dulu. Ia tidak memotret pemandangan secara harfiah, namun Srihadi banyak mengisyaratkan pesan-pesan di balik sapuannya. Contohnya, horizon bukanlah sekedar garis yang terlihat oleh mata. Horizon menjadi garis batas antara langit dan bumi, batas mikro kosmos dan makro kosmos, kemudian berkembang pada garis batas antara manusia dan Tuhan.

Ia juga pernah menggambar tema Borobudur, ragam tari Bali seperti Pendet atau Legong, dan kini tema yang digemarinya adalah Tari Bedoyo. Berbeda dengan tarian Bali yang dinamis, Tari Bedoyo adalah tarian yang lembut. Moodnya sedang ingin menggambar sesuatu yang lembut. Jika ia disuruh menggambarkan hal yang dinamis, ia tidak bisa karena suasana hatinya sedang tidak di sana. Ia baru akan melukis tema baru jika hatinya sudah kepingin pindah. Bisa dilihat, dalam berkarya, Srihadi mengikuti arus rasanya.

Jika ditanya aliran lukisan apa yang jadi gayanya, beliau menjawab ia melukis hanya berdasarkan kekhasan dirinya. Sebut aliran geometris sintetis, ekspresionisme, atau impresionisme yang pernah ia lukis dulu, namun Srihadi menjawab bahwa lukisan-lukisan dengan ragam aliran itu merupakan tahapan belajar untuk menemukan gaya yang paling tepat untuk dirinya: gaya Srihadi. Ia juga bilang bahwa ia pasti tidak akan bisa melukis lukisan yang pernah ia lukis dahulu.

Saya jadi mengkorelasikan ini pada diri saya. Terkadang kalau baca blog sendiri, tulisan dulu terasa berbeda dari sekarang, seperti lebih imajinatif atau puitis. Namun saya tidak bisa menulis seperti dulu lagi. Karena saya berkembang ke arah yang lain. Dan tampaknya saya harus menerima itu.



Setelah wawancara usai, beliau memberikan saya sebuah buku "Srihadi dan Seni Rupa Indonesia" yang ditulis oleh seorang kurator, Jim Supangkat. Kemudian beliau sms saya untuk memberikan informasi tambahan. Saya ucapkan terima kasih karena ada data baru untuk artikel. Lalu ia membalas, "Selamat berkarya, Mba Nia." Entah kenapa, saya terharu. Kata 'karya' terdengar begitu syahdu jika diucapkan oleh seseorang yang menghabiskan hampir seumur hidupnya yang mencari dirinya melalui karya.

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form