Pakai BPJS Pertama Kali Untuk Stroke

For a child, nothing as hurts as seeing her mother suffer.

Pada suatu akhir pekan, saya menjalani sebuah ibadah rutin pulang kampung ke Bandung. Saat sampai ke rumah dan pergi ke kamar, saya lihat ibu saya terlihat begitu lemas. "Ada yang sakit, ma?" tanya saya. Tapi mama enggak bilang ada yang sakit. Saya menduga flu, tapi kok tidak ada suara bindeng, batuk, atau bersin-bersin. Saya bilang mama untuk istirahat saja seharian. Dan saya menunggu keesokan harinya untuk melihat apakah sudah membaik atau tidak.

Nyatanya tidak. Saat mama mau pergi ke dapur, mama jalannya pelan sekali dan agak pincang. Dapur berantakan dan ia pun tidak bisa meneruskan masak. Saya suruh mama istirahat lagi dan saya yang ambil alih untuk masak. Karena mama pakai BPJS, fasilitas kesehatan tingkat pertama tutup di hari Minggu. Saya minta izin ke atasan saya untuk tidak masuk di hari Senin karena mau antar mama ke puskesmas di Jalan Salam.

Kami jalan kaki ke puskesmas. Di situ mama jalan pelaaan sekali. Walaupun mama sudah tua dan jalannya memang pelan, tapi ini lebih pelan daripada biasanya. Kemudian sesaat sampai ke puskesmas, kami harus antri. Puskesmas pun penuh dengan pasien. Petugas hanya mengandalkan teriakkan untuk memanggil pasien. Mereka juga tidak ramah dan tidak ada senyum. Ah, kalau pengurus puskemas Jalan Salam--sebuah puskesmas di tengah kota dengan lingkungan warga kelas menengah ke atas--tolong perbaiki pelayanannya. Beruntung mama punya saya yang bisa jaga. Tapi gimana kalau sudah tua dan dalam keadaan sakit? Apakah bisa serba awas terhadap lingkungan?

Saya terus menegakkan kepala saya untuk cari tahu nama mama saya dipanggil atau tidak. Sementara mama tidur terus sambil duduk. Ini juga tidak biasanya mama mudah tertidur begini. Setelah di-screening awal di ruang tunggu, data mama dikasih ke dokter yang saat itu ada tiga orang yang sedang bertugas sehingga ruangannya pun berbeda. Lagi-lagi saya harus mawas untuk tahu nama mama saya dipanggil dari ruangan dokter yang mana. Akhirnya setelah mama diperiksa ke dokter dan dokternya bilang kemungkinan kalau mama kena stroke kedua, mama dirujuk ke dokter saraf di rumah sakit di Jalan Veteran. Dokter puskesmas bilang kalau rumah sakit ini sudah relatif sepi dibandingkan rumah sakit lain, sehingga tidak perlu mengantri lama-lama.

Kami pulang naik becak karena mama sudah tidak sanggup jalan. Kami membiarkan mama istirahat sebentar karena dokternya baru ada di siang hari. Saat siang datang, untungnya suami dan keponakan saya mau ikut untuk menemani. Dua jam menuggu, dokter saraf belum datang-datang sementara mama sudah tidur terus di ruang tunggu. Saudara saya, yang merupakan seorang dokter penyakit dalam bilang sebaiknya mama langsung masuk UGD karena tertidur itu artinya ada penurunan kesadaran. Otomatis saya langsung complain ke suster kalau dokternya ini akan datang atau tidak. Karena kalau tidak mau saya masukkan ke UGD. Suster langsung sigap ambil kursi roda. Dan secara kebetulan, dokter pun baru datang. Karena statusnya emergency, antrian kami didahulukan.

Uh, patah hati saya.

Di saat itu, mama diputuskan harus rawat inap. Saya menemani mama, suami saya urus administrasi. Jujur, kami bingung karena di antara kami belum pernah ada yang diopname di rumah sakit. Setelah urus ini itu, dan menunggu cukup lama dengan alasan kamarnya sedang dipersiapkan, akhirnya mama masuk ke kamar.

Kami meninggalkan mama sebentar karena kami harus ambil barang-barang mama dan kami sendiri. Saya juga tidak tahu apa saja yang harus dibawa. Saya hanya bawa baju tidur dan alat mandi. Belakangan jadi tahu bahwa sebaiknya bawa mangkok sendiri, tissue, dan pisau dapur. Karena yang nunggu juga perlu perlengkapan makan sendiri. Ah.

I censor my mom's and sister's face because I don't want their face roams in internet.

Selama dua hari, mama banyak tidur. Tapi untungnya doyan makan karena beliau memang doyan makan. Tapi makan itu penting karena jadi ada nutrisi ke tubuh. Ia juga dilatih fisioterapi dengan suster. Dokter saraf dan dokter penyakit dalam melakukan visite sehari sekali. Sayangnya ini jadi catatan saya yaitu para dokternya tidak komunikatif. Walaupun saya sudah banyak nanya, jawaban pun tidak memuaskan. Saya harus ngejar (secara harfiah) dokter untuk tanya kalau mama saya sudah keluar dari rumah sakit, bagaimana prosedurnya? Apakah kami akan dikasih resep? Apakah kami akan kontrol lagi? Obat apa aja yang dibutuhkan selain pengencer darah? Dan dokter bilang, "Nanti akan diurus suster."

Ahk, apakah karena ini BPJS sehingga mereka dibayar murah dan periksa seadanya? Rasanya mau cari dokter lain dengan jalur umum--agar dapat pelayanan baik--tapi saya sudah rajin bayar BPJS setiap bulan. Rugi dong kalau tidak menggunakan hak?

Dua hari di sana, saya tidur di kursi dan suami tidur di lantai pakai sleeping bag. Kami sangat rinduu rumah dan kasur. Dan saya enggak enak sama suami karena pekerjaan dia jadi terbengkalai. Walaupun dia bisa kerja lewat laptop, tapi lingkungan rumah sakit tentu tidak efektif untuk bekerja. Saya sempat bilang ke suami untuk pulang saja ke rumah. Tapi dia menemani saya di Bandung. Syukurlah, kalau dia beneran pulang pasti saya sedih sih karena saya merasa benar-benar sendiri. Makasih, pak suami, kamu pemain terbaik 2017!

Mama diinfus, dikasih obat pengencer, dan dikasih obat kolesterol. Sehari sekali diajarkan fisioterapi oleh susternya. By the way, suster di rumah sakit ini top deh. Baik dan ramah sekali. Dan sepertinya minum obat-obatan dan fisioterapi bisa dilakukan di rumah. Akhirnya mama pulang. Tidak hanya saya dan suami, mama juga tentu sudah ngebet pulang. Setidaknya di rumah bisa kumpul sama keluarga dan ketemu kucing kesayangan.

Sekarang mama sudah lebih segar, jauh lebih segar. Tapi ya itu, segar karena obat-obatan. Setiap hari beliau harus makan banyak obat, termasuk obat untuk menurunkan tekanan darah. Mama juga harus latihan fisioterapi sendiri dan jaga asupan makanan. Pokoknya tidak boleh yang banyak lemak, tinggi kolesterol seperti udang, cumi-cumi, kepiting, dan makanan yang digoreng-goreng. Dan seminggu sekali harus kontrol ke sana.

Karena ini adalah pertama kali kami menggunakan BPJS, jadi tahu cara kerjanya. Dan pengobatan mama semuanya gratis. Yang perlu dicatat hanya dokter dan birokrasi rumah sakit sehingga kami harus menunggu lama. Hanya ada obat tambahan yang kami beli sendiri atas resep dokter lain karena dosis yang diberikan rendah. Apa karena gratis ya jadinya dikasih dosis yang rendah? Dan katanya dokter hanya dibayar beberapa ribu rupiah saja dengan BPJS. Apa itu yang membuat mereka kurang komunikatif?

Sebagai warga Indonesia yang rajin bayar iuran dan berharap banyak pakai BPJS, saya berharap betul-betul bahwa sistem BPJS ini jadi bagus. Tidak hanya mensejahterakan pasien, tapi mensejahterakan dokter, suster, dan rumah sakit. Ayo, pemerintah dan pihak BPJS, tolong dibenahi lagi sistemnya agar lebih maksimal.

Salam sehat dan tabik!

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

3 Comments

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

  1. Anjrittt Nia, ini horor banget ... Inilah kenapa (bagi gw) kehidupan nyata jauh lebih menyeramkan daripada setan, hantu dkk. Doa selalu buat kesehatan segenap keluarga elu ...

    ReplyDelete
  2. Iya, Dikaa. Hahaha.. Semoga elu dan keluarga lu sehat selalu. :)

    ReplyDelete
  3. Anonymous5:36 PM

    Kalo Pengalaman saya nia. Selama ini BPJS pelayanannnya baik Kok. Seharusnya Jika Faskes Tingkat 1 Tutup, Langsung Ke RS aja Ke UGD nya. Lalu Kasih Unjuk Kartu BPJSnya. Setidak2nya penangan pertama bias dilakukkan. n Juga jika kita selalu berpergian jangan lupa bawa kartu BPJSnya. jd Sewaktu2 kita sakit kita bias langsung Ke UGD nya. n Jika waktu Menunggu Kamar terasa lama setidak2nya kita berada di ruang UGD.

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Contact Form