Kalau lewat Jalan Braga arah Jalan Naripan, akan terlihat sebuah gedung besar di sebelah kanan jalan. Gedung ini selalu ditutup karena tidak dipakai dan bidang luas di depan gedung selalu menjadi bulan-bulanan warga untuk digambari atau ditempeli sesuatu. Kalau malam, trotoar depannya dipakai orang-orang untuk duduk-duduk sambil minum minuman beralkohol yang beli dari mini market terdekat. Tapi sepertinya malam ini tidak akan ada yang duduk di sana karena trotoarnya hitam dan bau. Menurut warga, ada gerobak tempat sampah yang sempat berhenti dan airnya sampahnya menetes kemana-mana.
Saat ngaleut hari Minggu (9/9) kemarin, pintu gedung besar itu terbuka, hanya boleh dikunjungi aleutians dan beberapa anak ITB yang memang mengurus perizinan untuk masuk. Kata Bey, ketua kelompok non VIP (bercanda), kita beruntung bisa masuk karena perizinannya susah dan harus diurus ke Jakarta. Lagi-lagi, pengalaman menelusuri tempat yang tidak dikunjungi semua orang yang saya dapat melalui aleut seperti basement Galeri Ropih, jalur lava Pahoehoe, Hotel Wilhelmina/Braga, dan Gedung Swarha (bagian ini saya tidak ikut).
Jadi, gedung yang kami kunjungi adalah Gedung Gas, saudara setanah air! Kata Bang Ridwan, ia pernah mengunjungi gedung ini tahun 1980-an untuk membayar gas (sebagaimana orang-orang pergi ke Jalan Surapati untuk membayar listrik). Gas-gas dialirkan melalui pipa bawah tanah, yang kata M. Ryzki Wiryawan, "Penggunaan gas saat itu di Bandung lebih banyak ditujukan untuk kebutuhan bisnis, contohnya untuk dapur-dapur di hotel, pabrik-pabrik roti, pabrik limun, penghangat di penginapan, barak, dan rumah sakit." Terus konon gas ini bukan tipe eksplosif seperti tabung gas 3kg.
Saat masuk, kami disambut dengan sebuah ruangan besar. Di pojok kiri ada semacam meja resepsionis dengan judul "Gangguan" dan di pojok kanan ada semacam dapur kering. Menuju ruang tengah, di sana terdapat sebuah ruang agak lapang yang terang karena di atasnya terdapat atap kaca yang cahayanya tembus dari lantai dua. Sepertinya ini tipe rumah lama ya? Karena rumah saya juga memiliki kaca di atap sehingga lumayan menghemat listrik.
Gedung Gas ini memiliki banyak ruangan yang memiliki langit-langit tinggi, dilengkapi kaca-kaca yang kondisinya baik, juga lampu-lampu gantung yang sudah oleng. Selain berdebu (tentunya), di gedung ini banyak sekali burung-burung yang berterbangan. Di salah satu ruangan lantai dua, yang sepertinya adalah ruangan yang mereka pilih untuk membuat sarang, penuh dengan kotoran burung yang mengotori sisi dindingnya. Masuk ke dalam ruangan tersebut seperti berada di dalam sangkar burung raksasa. Walaupun banyak debu dan kotoran burung, gedung ini tidak terlalu pengap dan kadang terasa aliran udara melalui jendela.
Yang paling saya suka dari gedung ini adalah pintu-pintu yang besar dan lebar, kaca-kaca yang banyak dan langit-langit yang tinggi yang bikin suasana jadi terang dan sejuk. Walaupun bangunannya tidak banyak hiasan seperti Kala di Landmark atau New Majestic, saya menyukai detil penyangga atap yang berada di dekat ruang masuk. Secara keseluruhan, Gedung Gas terlihat masih kokoh. Sayang jika tidak digunakan. Namun lebih sayang jika dihancurkan kemudian dibangun hotel di atasnya.
Saat ngaleut hari Minggu (9/9) kemarin, pintu gedung besar itu terbuka, hanya boleh dikunjungi aleutians dan beberapa anak ITB yang memang mengurus perizinan untuk masuk. Kata Bey, ketua kelompok non VIP (bercanda), kita beruntung bisa masuk karena perizinannya susah dan harus diurus ke Jakarta. Lagi-lagi, pengalaman menelusuri tempat yang tidak dikunjungi semua orang yang saya dapat melalui aleut seperti basement Galeri Ropih, jalur lava Pahoehoe, Hotel Wilhelmina/Braga, dan Gedung Swarha (bagian ini saya tidak ikut).
Jadi, gedung yang kami kunjungi adalah Gedung Gas, saudara setanah air! Kata Bang Ridwan, ia pernah mengunjungi gedung ini tahun 1980-an untuk membayar gas (sebagaimana orang-orang pergi ke Jalan Surapati untuk membayar listrik). Gas-gas dialirkan melalui pipa bawah tanah, yang kata M. Ryzki Wiryawan, "Penggunaan gas saat itu di Bandung lebih banyak ditujukan untuk kebutuhan bisnis, contohnya untuk dapur-dapur di hotel, pabrik-pabrik roti, pabrik limun, penghangat di penginapan, barak, dan rumah sakit." Terus konon gas ini bukan tipe eksplosif seperti tabung gas 3kg.
Saat masuk, kami disambut dengan sebuah ruangan besar. Di pojok kiri ada semacam meja resepsionis dengan judul "Gangguan" dan di pojok kanan ada semacam dapur kering. Menuju ruang tengah, di sana terdapat sebuah ruang agak lapang yang terang karena di atasnya terdapat atap kaca yang cahayanya tembus dari lantai dua. Sepertinya ini tipe rumah lama ya? Karena rumah saya juga memiliki kaca di atap sehingga lumayan menghemat listrik.
Gedung Gas ini memiliki banyak ruangan yang memiliki langit-langit tinggi, dilengkapi kaca-kaca yang kondisinya baik, juga lampu-lampu gantung yang sudah oleng. Selain berdebu (tentunya), di gedung ini banyak sekali burung-burung yang berterbangan. Di salah satu ruangan lantai dua, yang sepertinya adalah ruangan yang mereka pilih untuk membuat sarang, penuh dengan kotoran burung yang mengotori sisi dindingnya. Masuk ke dalam ruangan tersebut seperti berada di dalam sangkar burung raksasa. Walaupun banyak debu dan kotoran burung, gedung ini tidak terlalu pengap dan kadang terasa aliran udara melalui jendela.
Yang paling saya suka dari gedung ini adalah pintu-pintu yang besar dan lebar, kaca-kaca yang banyak dan langit-langit yang tinggi yang bikin suasana jadi terang dan sejuk. Walaupun bangunannya tidak banyak hiasan seperti Kala di Landmark atau New Majestic, saya menyukai detil penyangga atap yang berada di dekat ruang masuk. Secara keseluruhan, Gedung Gas terlihat masih kokoh. Sayang jika tidak digunakan. Namun lebih sayang jika dihancurkan kemudian dibangun hotel di atasnya.
Tags:
Sejarah Bandung
Hihihihihihi...
ReplyDeleteAposehlooooooooooo... :p
ReplyDelete