#12 Homo Homini Lupus

Di daerah Pasar Minggu sana, terdapat sebuah ruang kreatif sekaligus komunitas bernama Salihara. Gaungnya sebagai tempat kumpul para seniman dan sastrawan sudah terdengar hingga Bandung. Saat pertama kali si monyet berdomisili di Jakarta, Salihara menjadi tempat yang ia cita-citakan untuk disambangi. Beruntung saat itu si monyet masih tinggal di daerah Halim, walaupun masih terbilang jauh, lama perjalanan ke Salihara hanya memakan waktu 1-1.5 jam saja.

Kini si monyet tinggal di Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Lama perjalanan menuju Salihara menjadi dua kali lipat. Apalagi saat itu hujan, macet, dan busway penuh karena sudah musim liburan. Kini datang ke Salihara harus diniatkan betul-betul dan menjadi sebuah perjuangan. Kalau saja tidak ada pameran dan acara gratis.

Acara gratis kemarin adalah pertunjukkan sirkus Sans arrêt yang digawangi oleh Edward Aleman dan Wilmer Marquez. Jadi, jika dilihat dari katalog acara, Sans arrêt adalah sebuah pertunjukkan yang ditampilkan di ruangan terbuka dan menyajikan atraksi keseimbangan berpasangan, saling bertumpu, serta juggling. Sayangnya, saat juggling, salah satu pemainnya (yang pakai baju hitam) terus melakukan kesalahan. Duh, someone didn't do his homework. Selain itu juga tidak menimbulkan efek puas setelahnya, mungkin karena gratis.

Untuk foto lainnya, silakan berkunjung ke sini.

Sebelum menonton sirkus, si monyet masuk ke ruang oval Salihara untuk melihat pameran S. Teddy Darmawan. Begitu memasuki ruangan, ia melihat 10 meja berisi gulungan kertas gambar yang bisa diputar. Selain itu terdapat beberapa kertas yang dibentangkan di tembok, memperlihatkan gambar-gambar yang dibuat dengan tinta Cina.

Untuk foto lainnya, silakan berkunjung ke sini.

Sayangnya si monyet tidak membaca esai kuratorialnya sehingga tidak mengerti karyanya. Di luar dari itu, kesan visual yang ditangkap cukup menganggu. Mungkin karena gambarnya banyak, pecah-pecah, dan semuanya berwarna hitam. Duh, semua terlalu banyak dan terlalu ramai. Si monyet merasa sulit menikmati.

Sepulang dari Salihara, si monyet memutuskan untuk menginap di kosan teman sepermonyetannya saat kuliah. Mereka memiliki janji main bersama di keesokan harinya dan si monyet merasa sangat jauh dan bolak-balik jika harus pulang. Berbekal instruksi, puji Tuhan seru sekalian semesta alam, akhirnya ia sampai dengan selamat dan sentosa di kosan di daerah Cikini.

Keesokan harinya ia dan kedua temannya pergi ke Pasar Baru karena ada Festival Passer Baroe. Ternyata festival ini bukan festival kesenian dengan tenda-tenda menarik. Ini hanya merupakan program diskonan setiap toko. Buat monyet, Pasar Baru Jakarta adalah sebuah tempat yang baru dikunjungi. Namun Ceu-Ceu, temannya, yang sudah beberapa kali ke tempat ini untuk makan siang menemukan tempat ini jadi tidak ada anehnya.

Penampakan Bakmi Gang Kelinci


Mereka makan di Bakmi Gang Kelinci yang nama gangnya sudah terkenal dari lagu zaman dulu. Bakminya enak dan kuahnya juga segar. Setelah makan bakmi, mereka pergi ke tempat grosir alat make up. Cukup tergiur tapi mereka tidak membutuhkan. Akhirnya perjalanan ditutup dengan makan dorayaki dan pulang.

Berbeda dengan kedua temannya yang pulang dengan taksi, monyet pulang naik busway. Karena busway-nya berada di kisaran Monas yang menjadi pusat wisata dan liburan anak sekolah, aduhai jalanan begitu macet dan ngantrinya. Tidak kalah dengan jalan, para monyet juga mengantri di Terminal Harmoni. Di sana, siapa yang datang duluan dan siapa yang datang terakhir sudah tidak jelas. Jalur antrian juga sudah melebar. Bus tidak kunjung datang. Begitu bus datang, semua orang menggila. Homo homini lupus. Man is a wolf to [his fellow] man. Ada yang teriak "Jangan dorong-dorong, ada anak kecil!!" sementara monyet betina lain mendumel, "Anak kecil aja repot. Lagian anak pake acara dibawa-bawa!" Si monyet ketawa saja. Sudah gila.

Ampuni monyet, para pemirsa, bahwa ia juga sudah tidak peduli dengan nasib monyet lainnya. Kala itu yang terpikirkan hanyalah bagaimana ia masuk ke dalam bus agar tidak perlu menunggu lama dan segera sampai kosan. Tidak hanya didorong, ia juga mendorong. Tidak hanya disikut, ia juga menyikut. Ini adalah angkutan yang ia pilih berdasarkan kemampuannya. Ia belum mampu merogoh kocek dalam untuk naik taksi, apalagi tempatnya jauh sambil terjebak macet. Jakarta adalah rimba dan hukum survival of the fittest jelas berlaku.

Saat berada di dalam busway, keadaan juga tidak kalah melelahkan. Para monyet betina tua itu terus menceramahi supir busway--yang menurut mereka tidak gesit dan pintar mengambil celah di sela macet. Kata-kata sok pintar dan provokatif seperti, "Ayo dong, masuk buruan. Kalo gak masuk, nanti diserobot yang lain. Sekarang, Pak, sekarang! Duh, ini polisi gak bisa apa-apa. Udeeh, klakson aja." itu cukup membuat kuping panas. Kenapa monyet yang sudah jadi ibu-ibu suka jadi menyebalkan sih? Kenapa mereka harus banyak omong padahal sudah pada duduk enak, sementara kami berdiri bergelantungan di dalam bus.

Selamat monyet ucapkan kepada kalian para penduduk asli atau para pendatang yang memutuskan untuk menetap. Baginya, ini bukanlah rimba yang patut diperjuangkan untuk menghabiskan waktunya berlama-lama.

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form