Mencoba Merendah Bersama Gatot

"Menahan Kepala, Menekan Hati"
Gatot Pudjiarto

Lagi-lagi saya menghadiri pameran tunggal seorang seniman di Selasar Sunaryo. Kali ini senimannya bernama Gatot Pudjiarto. Dua puluh menit terlambat dari waktu pembukaan yang direncanakan, rupanya pengunjung masih terlihat sepi. Mungkin sebenarnya tidak sepi karena saya yang membandingkan dengan pengunjung pameran sebelumnya, Agus Suwage, yang sangat membludak. Sambil menunggu pembukaan, saya membaca handout yang berisi karya-karya dengan sedikit interpretasi dari kurator. Saya berburuk sangka.

Seniman ini berasal dari Malang. Ia hanya artis lokal yang baru pameran di dalam negeri saja. Penghargaan yang diterima hanya satu: Juara III Pameran Peksiminas. Latar belakang pendidikannya adalah lulusan jurusan seni rupa di IKIP Malang. Sang kurator mengakui bahwa ia dan seniman tersebut - walaupun sama-sama dari IKIP Malang - mendapat pengaruh yang kuat dari ITB karena beberapa pengajar disana berasal dari ITB.

Acara pembukaan pun tidak megah. Banyak tepuk tangan tanggung yang diberikan pengunjung mayoritas mahasiswa seni rupa dengan penampilan kusut dan rambut serba keriting. Pemiliki galeri, Sunaryo, dan sang seniman pun tidak berbicara di depan untuk memberikan sambutan - hanya kurator dan seorang penikmat seni yang mengaku akan membeli karya seniman tersebut.

Acara dibuka, saya dan teman saya masuk ke Bale Tonggoh, lalu terkesimalah kami.

"Final Solution"
Gatot Pudjiarto

Tema yang diangkat Gatot Pudjiarto sangatlah sederhana, begitu merendah. Ia hanya ingin mengangkat kisah-kisah wajah yang ia temui keseharian. Wajah, kata Gatot, meski terlihat, sering ada yang tersembunyi dan tersembunyikan, Ambivalensi antara tampak dan sembunyi, diperlihatkan dan ditutupi, antara tragedi dan komedi, menjadi daya tarik sendiri bagi Gatot. Rupanya ia ingin mencoba menyampaikan pesan implisit maupun eksplisit dari wajah.

Gambar di atas adalah salah satu contoh kesederhanaan yang ingin ditampilkan Gatot. Ia tidak sinisme dalam tentang politik - seperti yang dilakukan seniman lainnya sehingga ketika melihatnya, pengunjung sudah tidak kaget. Ia hanya ingin berkeluh kesah tentang hal-hal yang tidak pernah dibahas di Indonesia. Misalnya ia berkeluh kesah tentang sosialisasi tentang cara mencegah demam berdarah yang dilakukan pemerintah namun setiap tahun selalu saja ada yang sakit dan meninggal karena demam berdarah. Ini menjadi masalah kecil dan jarang diperhatikan namun selalu merenggut nyawa.

"Pretender"
Gatot Pudjiarto

Karya ini digambarkan dengan sebuah panah yang ada di bagian mulut seseorang. Jika kita perhatikan, orang yang melihatnya cenderung melihat panah besar itu, tanpa memperhatikan panah-panah kecil yang berada di sekitar tubuhnya. Ini adalah keluh kesah Gatot terhadap orang-orang yang selalu memperhatikan hal-hal yang besar dan melalaikan hal-hal kecil.

"KDRT"
Gatot Pudjiarto

"The Helping Heroes"
Gatot Pudjiarto

The Helping Heroes tentang seorang pahlawan yang membutuhkan pertolongan namun ia gengsi meminta tolong ke orang lain. Ini sama halnya dengan jargon 'rocker juga manusia'.

"Just Me and My Self"
Gatot Pudjiarto

Karya yang paling saya sukai dari seluruh karyanya. Selain warna yang sepadan dan hijau adalah warna kesukaan saya, Just Me and My Self ini sangat kartual. "Seperti kartun-kartun di Nickelodeon" - ujarnya teman saya.

"Lelanange Jagad"
Gatot Pudjiarto

Menurut saya, karya ini sangat romantis. Laki-laki yang digambarkan dengan buaya mungkin merepresentasikan stereotip laki-laki di masyarakat. Buaya darat. Hehe. Padahal konon katanya, buaya yang sesungguhnya sangatlah setia. Ia hanya berpasangan dengan satu buaya betina di seumur hidupya.

Semua karya-karya diatas dibuat dari potongan-potongan kain yang ditempel dan dijahit di atas kanvas yang biasa dinamakan dengan kolase. Teknik kolase ini sudah lama digunakan yaitu 200SM. Tidak hanya kain saja, media yang digunakan bermacam-macam seperti kertas, kayu, dan lainnya. Awalnya jahitan yang menghiasi kolase buatan Gatot ini hanya bertujuan untuk menguatkan kain, namun ternyata jadi menambah arti dan daya tarik sendiri untuk karyanya. Selain saya dan teman saya, saya yakin bahwa pengunjung lainnya menghabiskan waktu untuk meniti jahitan-jahitan benang pada karya sang seniman.

Pameran kali ini bukanlah pameran yang akbar namun cukup berkesan. Ibarat orang yang datang kelaparan, saya cukup menikmati makanan yang disajikan. Hanya saja makanan tersebut disajikan dalam jumlah sedikit sehingga saya mengharapkan makanan lain.

Namun kesederhanaan Gatot Pudjiarto membuat saya bisa menikmati karyanya tanpa interpretasi njlimet yang biasanya berbau politik. Ini tentang keseharian dan ini direkomendasikan untuk didatangi.

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form