Threshold (Ambang)

Jiwa yang kering ini akhirnya basah juga. Aduh, kira-kira itu hal lebay yang saya pikirkan setelah melihat pameran Threshold (Ambang) karya Takashi Kuribayashi, seorang seniman Jepang yang lama tinggal di Jerman. Setelah bermukim di Bandung selama hampir tiga bulan, ia menyelesaikan karya lukisan, video, dan instalasi. Karyanya tersebar di dua ruangan Selasar Sunaryo Art Space yang terletak di daerah Dago.

Karya-karya Takashi terkesan spooky. Melalui karya-karyanya yang dominan monokrom, ia menggambarkan suasana Fukushima setelah reaktor nuklirnya rusak akibat tsunami tahun 2011. Suasana ini ia dapat saat menjelajah Fukushima dengan baju anti radiasi dan papan surfing yang ditempeli paku (karena dipercaya dapat menangkal radiasi). Salah satu hasilnya adalah seri lukisan berjudul New Chapter #I - #III dimana pohon-pohon tumbuh di atas mayat manusia, tanaman bunga matahari bermunculan dengan akar kecambah asli sehingga lukisan seperti karya 3D, pohon-pohon yang ditanam di atas tetrapod resin nuklir, dan seterusnya. Bagi saya, seniman menghadirkan suasana yang menyedihkan, menyeramkan, sekaligus indah dalam saat yang bersamaan.

Faces (duh, ini kenapa gak mau rotate?)


Bird Cages (ini kenapa gak mau rotate pula?)

Tidak hanya itu, di sebuah ruangan yang besar, Takashi menggantungkan susunan daun kering secara bergelombang yang tingginya setengah dari tinggi ruangan. Karya yang berjudul Underground Sound of Rain ini seolah-olah mengamini pameran yang bertajuk Ambang. Di sana, pengunjung bisa berjalan di bawahnya sambil menikmati pancaran sinar lampu atau matahari yang masuk ke celah dedaunan. Selain itu, Takashi menyediakan beberapa lubang sehingga pengunjung bisa mengintip ke bagian atas karya. Ide "mengintip untuk melihat dunia baru" ini sepertinya ciri khas dari Takashi karena saya melihat beberapa karyanya dengan ide seperti ini di internet dan katalog pameran sebelumnya.

Lubang intip ini juga muncul di karya Portrait, Bird Cages, dan Faces. Dalam Bird Cages, Takashi membuat sebuah ruangan yang berisi beragam pohon dan burung serta tiga buah lubang intip dimana setiap lubang terdapat sangkar burung. Takashi membalikkan persepsi dalam Bird Cages saat pengunjung melongokkan kepalanya ke dalam lubang intip yang ditutup kandang. Ia ingin membuat pengujung seolah-olah di dalam kandang beserta burung dan pepohonan di sekitarnya. Sementara Faces terkesan misterius karena pengunjung mengintip ke sebuah lubang hitam yang penuh dengan kaca dan menampilkan wajah diri.

Tidak hanya ruang pamer, ruang kerja Takashi pun diperlihatkan. Cat, sketsa, rotan untuk kandang, hingga makanan burung pun tersedia. Di tengah ruang kerja terdapat sebuah gerobak yang sebagai simbol mobilisasi atau bergerak. Rupanya, setiap negara yang ia kunjungi untuk pameran, Takashi membuatkan gerobak yang hiasannya disesuaikan dengan karakteristik negara tersebut. Untuk Indonesia, ia menggambar wayang di salah satu kacanya.

(kok masih miring?)

Jika melihat portofolio, karya-karyanya Takashi tidak kalah menakjubkan. Ia pernah membuat karya laut yang mengambang di tengah ruangan dan pengunjung bisa masuk ke dalamnya. Di antara lautan tersebut terdapat anjing laut dimana kepalanya berada di atas karya sementara badannya berada di bawah karya. Bagus!

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form