Polemik JHT, Mengingatkan Kita Perlu Uang Saat Tua

Baru-baru ini ramai diberitakan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenker) memutuskan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) cair di usia 56 tahun. Kayaknya keputusan ini lebih banyak menuai kontra daripada pro. Pertama, orang perlu uang ketika PHK dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bernilai sedikit. Kedua, itu adalah hak kita (para pekerja). Ketiga, ada dugaan salah pilih investasi sehingga merugi.

Tua dan tidak produktif 

Beberapa hari yang lalu, saya nonton liputan The Economist yang berjudul The True Cost of Ageing. Dalam liputan tersebut disebutkan bahwa di negara maju, mengurus pensiunan itu membutuhkan uang yang banyak karena mereka membebani social-care system negara. Data dari United Nation juga menyebutkan bahwa, di 2020, jumlah lansia berusia 60 tahun jumlahnya tiga kali lebih banyak dibandingkan di 1950.  Artinya, para pekerja yang masih produktif ini harus bekerja keras untuk menanggung para lansia.

Oke, di negara maju, mungkin pemerintahnya sudah menyiapkan sistem yang baik untuk mengurus para lansia. Namun kalau di Indonesia, lansia diurus oleh anak-anaknya. Makanya, banyak sandwich generation yang harus membiayai orang tuanya saat pensiun. Seperti saya. Hehe.

Tak hanya membebani anak, lansia juga membebani negara. Selain tidak produktif, mereka juga memakan biaya kesehatan yang tinggi. Misal, di keluarga saya, para pengguna BPJS adalah ibu dan kakak-kakaknya. Mereka rutin ke rumah sakit untuk check up setiap bulannya.

Jadi, saya sedikit mengerti mengapa Kemenker ingin JHT cair saat penggunanya sudah tua. Pertama, agar mereka tidak membebani generasi selanjutnya yang berada di usia produktif. Kedua, jika sakit, bisa punya pilihan selain menggunakan BPJS, seperti menggunakan asuransi swasta. Ketiga, agar mereka punya modal usaha setelah pensiun. Setelah kita tua, energi dan kesempatan menjadi terbatas. Dengan cairnya JHT saat itu, kita tidak perlu lagi mencari uang untuk modal usaha. Kita hanya tinggal mengeksekusi idenya saja.

Banyak orang yang protes adalah jika mereka di-PHK sekarang, maka mereka tidak punya modal untuk usaha. Kalau menurut saya, karena sekarang kita masih muda dan masih banyak kesempatan, mencari modal masih bisa dilakukan. Misal, minjam ke bank, yang mungkin lebih mudah dicairkan karena kita masih punya jangka waktu lama untuk membayar cicilannya. Intinya, otak kita tuh masih segar untuk bisa memikirkan cara-cara untuk mencari modal usaha.

Side hustle

Saya ingin memiliki growth mindset. Misal, kalau gaji saya kurang, apa yang bisa saya lakukan untuk menambahnya. Apa saja perlu ikut pelatihan untuk meningkatkan kemampuan sehingga saya bisa mengajukan promosi di perusahaan? Atau saya bisa cari kerjaan sampingan yang tidak bentrok dengan pekerjaan utama?

Inginnya siihh para generasi muda yang masih produktif ini enggak terlalu panik saat Kemenker memutuskan JHT cair di usia 56 tahun. Karena apa? Karena kita masih bisa menerapkan growth mindset itu. Misal, gimana caranya biar kita enggak di-PHK? Agar memiliki safety net, apakah kita harus cari kerjaan sampingan supaya enggak nol amat penghasilannya? Atau, agar nanti tidak jadi wirausaha dadakan saat tua, adakah bisnis craft yang bisa saya bangun dikit demi sedikit dari sekarang?

Pentingnya dana pensiun

Sebagai bagian dari sandwich generation, saya jadi paham beratnya beban ini. Di satu sisi, saya harus membiayai anak saya, di sisi lain ibu saya sering minta ini dan itu. Bukannya tidak mengingat jasa-jasa ibu saya, tetapi jika saja ibu saja memiliki dana pensiun dan punya dana untuk membiayai dirinya, hidup saya akan jauh lebih ringan.

Kebayang enggak sih bahwa nantinya kita akan hidup belasan atau puluhan tahun tanpa penghasilan? Saya tidak mau membebani anak saya jika saya sudah tua nanti. Kasian, saya sih ingin dia maju dan berkembang. Misal, amit-amit, anak saya nanti kondisi ekonominya sulit dan saya juga sering sakit. Wah, kasian sekali.

Selain JHT, saya menyisakan gaji saya untuk dana pensiun. Investasi yang saya gunakan adalah reksa dana campuran. Saya membuat pos-pos tabungan, seperti tabungan pendidikan, tabungan dana darurat, tabungan cicil rumah, dan lainnya. Jumlah yang ditabung tidak besar, tapi saya konsisten menabung setiap bulan setelah gajian.

"Tapi gaji saya kecil, untuk hidup besok aja belum tentu."

Tabungan itu persentase dari pemasukan. Jadi kalau gajinya satu juta rupiah, kita bisa nabung 30 persennya, yaitu Rp300 ribu. Kalau gajinya Rp500 ribu, ya tabungan kita Rp150 ribu. Kuncinya konsisten dan jangan diambil. Agar tabungannya tidak diambil, kita harus cari "keran air" lainnya untuk menambah pemasukan.

Mungkin pandangan saya terkesan egois atau tidak empati pada orang miskin struktural. Oke, mungkin pandangan saya bisa diterapkan pada orang menengah atau menengah ke bawah, terutama mereka yang merasa miskin tapi masih bisa cicil motor atau punya hp bagus.

Tujuan keuangan saya sederhana. Kalau belom bisa kaya raya seperti sultan Andara, setidaknya saya tidak berhutang dan tidak menyusahkan orang lain saat ada kebutuhan.

Balik lagi ke JHT, lakukanlah hal yang bisa kontrol. Kita mungkin tidak bisa mengontrol keputusan pemerintah, tapi kita bisa mengontrol pendapatan dan pengeluaran kita. Dan menurut saya itu lebih make sense.


----------

Photo by Claudia van Zyl on Unsplash

Nia Nia

Perempuan yang senang menulis, baik buat hobi atau kerjaan. Percaya bahwa tulisan dari hati akan ke hati lagi.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form