Kenapa Saya Memutuskan Berhijab


Surprise!

Yap, surprise pasti buat orang-orang yang kenal dekat maupun tidak dekat. Karena, mungkin saya keliatannya nggak religius ini, akhirnya berhijab juga. 

Perjalanan ingin pakai jilbab ini sebenernya udah lama, mungkin dari zaman saya masih ngekos di Jakarta saat pandemi COVID-19.Waktu itu saya sudah bilang ke suami pengen pakai jilbab, karena tentunya ingin menutup aurat dan menuruti perintah agama. Namun, keinginan itu nggak pernah diseriusin. 

Alasannya ada banyak kenapa keinginan tersebut tertunda.

Lebih karena faktor manusia

Alasan pertama mungkin terdengar keras. Jadi, saya pernah punya pengalaman nggak enak dengan orang-orang yang berhijab yang sangat judgy dari zaman kuliah hingga sekarang. Orang-orang yang kebelet menceramahi padahal agama itu jelas privacy. Orang-orang yang kalau saya nanya agama malah dijawab, "Alah, ribet amat. Ikutin aja skenario Tuhan, ya gak sih?"

Halo, kakak kelas. Jawaban kamu sangat membekas dan bikin saya jauh dari agama karena orang-orang sepertimu. :)

Selain itu, saya juga banyak melihat orang-orang berhijab yang bergosip, berbuat licik, dan berbuat hal di luar akal sehat (seperti pergi ke dukun padahal anaknya stunting). Di situ, saya tidak ingin menjadi bagian dari mereka.

Kedua, berhijab itu terasa berat karena kuat ikatannya dengan sosial. Saat baru pakai, kita akan sangat disanjung. Tapi kalau dilepas, kita akan sangat dihujat. Nah, inilah yang saya takuti. Bagaimana kalau iman saya turun suatu hari nanti? Bagaimana kalau suatu hari nanti saya nggak pengen pakai jilbab lagi?

Ketiga, saat anak saya masuk TK, saya ingin pakai jilbab. Tapi karena sekolahnya adalah TK kristen, dan gedung sekolahnya jadi gereja di hari minggu, saya merasa aneh banget kalau saya masuk sana dalam kondisi berhijab. Maka, keinginan itu saya tunda sampai anak saya lulus TK.

Lalu, keempat, saat anak saya mau masuk SD, saya tahu saya akan berhijab karena mulanya anak saya akan dimasukkan ke sekolah Islam. Tapi karena akhirnya dia masuk sekolah swasta nasional, kenginan berhijab tertunda lagi.

Terus mencari jawaban

Selama bertahun-tahun itu, saya terus mencari alasan yang menguatkan saya untuk berhijab. Saya mencari validasi apakah pikiran negatif saya tentang orang-orang yang berhijab itu benar atau tidak. Lalu, saya juga mencari jawaban kenapa anak-anak ulama besar di Indonesia tidak memakai jilbab? Apakah ada hadis bahwa ini bukan sebuah keharusan?

Setelah banyak melihat, saya menyadari bahwa saya bertemu perempuan-perempuan berjilbab yang baik, hebat, pintar, dan pikirannya terbuka. Mereka adalah dosen saya, ibunya teman saya yang seorang pengusaha sukses atau yang menjabat di posisi tinggi di perusahaan, hingga sosok yang nggak saya kenal yaitu ibu Nicke, mantan direktur Pertamina. Haha. Mungkin yang terakhir terdengar aneh, tapi perempuan bisa menjadi pemimpin di male-dominated industry itu keren. 

Saya juga melihat teman-teman saya yang sukses berkarier di luar negeri dengan tetap sambil berhijab. Teman saya kerja sekolah sampai S3 di Jepang, dan kemudian kerja di sana. Artinya, jilbab bukanlah halangan buat kita belajar dan berkarier. Kita tetap bisa pintar, bisa keren.

Lebih jauh lagi, saya juga berpikir bahwa memang tidak semua orang bertindak dan berpikir sesuai harapan kita. Kadang ada orang yang mengecewakan, ada juga yang jalan pikirnya begitu aneh sampai nggak masuk akal buat kita. Tapi masa orang-orang seperti jadi penghalang saya untuk berhijab?  

Jadi, bagaimana dengan anak-anak ulama itu?

Saya teringat ceramah Ustaz Aam Amiruddin yang sering saya dengarkan pada tahun 2008. Beliau pernah mengatakan bahwa istri-istri Nabi Muhammad pun mengenakan jilbab. Kalau begitu, mengapa kita harus mengikuti pendapat anak-anak ulama tersebut?

Lalu, saya juga bertanya-tanya—jika mazhab memang berbeda-beda, mengapa setiap orang yang pergi umrah atau haji ke Mekah selalu berhijab? Jika ada mazhab yang berpendapat bahwa hijab tidak wajib, seharusnya tidak masalah, kan, jika seseorang beribadah ke sana tanpa mengenakan kerudung?

Ustaz Aam juga mengajarkan saya bahwa Islam itu indah dan memberikan kemudahan. Melalui ceramah-ceramahnya dia yang saya dengarkan setiap pagi di kanal YouTube, saya melihat Islam itu sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari. Karena itulah, saya jadi bisa memaknai agama ini dan merasa lebih dekat.

Lantas, bagaimana tentang ketakutan nggak mau berhijab lagi? Kayaknya berhijab itu nggak bisa sesuai suasana hati atau tren. Karena sifatnya wajib, maka harus dipakai terus. 

Sebuah titik balik

Namun, ada satu hal lagi yang bikin saya makin yakin untuk berhijab.

Dulu saya nggak mau mengajarkan agama pada anak di usia dini karena tidak ingin pikiran ia 'terganggu' dengan ketakutan akan teror neraka, atau bikin dia jadi judging kepada agama lain. Saya pernah ketemu dengan anak-anak TK yang pernah bilang kafir ke orang lain. Saya juga ketemu anak TK lainnya yang nggak mau main sama anak yang beda agama. Kok rasanya nggak pantas ya? Saya nggak mau anak saya seperti itu.

Namun karena anak saya belajar agama di TK dan SD, hal ini jadi nggak terhindarkan. Oleh karena itu, saya harus memastikan apa yang dia pahami adalah benar dan bermakna buat dia—bukan sekadar keharusan tanpa ngerti tujuannya.

Saya ingin anak saya belajar agama tidak di bawah ketakutan. Dulu, kalau nggak salat, saya ditakuti akan masuk neraka. Belum lagi banyak buku dan film tentang siksa kubur dan siksa neraka. Jadinya, beribadah terasa jadi beban. Maka dari itu, saya ingin anak saya belajar agama dengan tahu maknanya, dan dijalani dengan rasa cinta dan syukur.

Misalnya, saat mengajarkan salat, saya bilang ke anak saya bahwa salat adalah cara kita berterima kasih pada Allah. Kita bisa berterima kasih atas apa yang sudah kita terima hari ini, seperti kesehatan, bisa sekolah, bisa makan, dan lainnya.

Untuk kehidupan selanjutnya

Setiap sebelum tidur, saya selalu mengajarkan anak saya untuk berdoa. Doa tersebut meminta perlindungan Allah saat kita hidup dan saat kita mati. Mati di sini bukan mati beneran, tapi 'mati sebentar' sebagai metafora tidur.

Anak saya juga bertanya kemana kita kalau sudah mati. Saya jawab kalau kita akan ke surga kalau berbuat baik dan menurut perintah Allah. Oleh karena itu, saya meminta anak saya untuk berbuat baik dan belajar ibadah. Dan anak saya mengiyakan.

I think that was my major turning point.

Di situlah, saya ingin masuk surga bareng sama anak saya. Saya ingin terus sama-sama dia ... selamanya. Apalagi pikiran tentang kematian juga sering datang sejak saya tinggal di Tangerang, karena tempat ini banyak dilalui oleh truk. Saya takut sewaktu-waktu kami celaka di jalan.

Maka dari itu, saya selangkah demi selangkah menguatkan ibadah saya. Salah satunya dengan menutup aurat ini. Demi kehidupan nanti bersama anak saya.

Semoga Allah menguatkan upaya ini.

Nia Janiar

Seorang penulis yang bekerja di agensi di Jakarta. Pernah bekerja sebagai jurnalis di salah satu media ternama di Indonesia. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Di sela kesibukan menjalani passion menulis dan home maker, senang baca buku sastra Indonesia dan mengunjungi pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form