Sejarah Di Antara Halaman Buku

Langit mendung rupanya tidak membuat 59 pegiat Aleut malas atau patah semangat menyusuri sejarah toko buku lama (juga percetakan) yang ada sepanjang Jalan Braga dan sekitarnya. Sembari makan roti atau minum kopi untuk menghangatkan diri, mereka duduk-duduk di pelataran Landmark--tempat yang terkenal sering mengadakan pesta buku atau pameran elektronik--sambil menunggu yang terlambat.

Lekat dengan perbukuan, tempat yang sedang diduduki para pegiat ini dulunya Toko Buku Van Dorp yang dibangun oleh Schoemaker pada tahun 1922. Schoemaker, yang karyanya tersebar di Bandung ini, menetapkan ciri khasnya pada pemasangan ornamen nusantara Batara Kala (anak Dewa Siwa yang merupakan dewa penguasa waktu dan memiliki wajah buruk rupa) tanpa rahang. Jika ingin melihat Batara Kala dengan rahang, bisa dilihat di Gedung Majestic.

Batara Kala di sisi kiri dan kanan gedung

Berbeda dengan Aula Timur ITB buatan Maclaine Pont dimana gaya Eropa dan nusantaranya betul-betul dilebur, ornament nusantara Schoemaker hanya berupa tempelan saja. Dengan gaya arsitektur indo europeeschen architectuur stijl, gedung ini memiliki konsep arcade. Konsep arcade merupakan konsep perencanaan pembangunan pertokoan yang memiliki tujuan agar pejalan kaki nyaman. Bisa dilihat di bangunan Landmark ini, setiap penghubung toko diberi atap sehingga pejalan kaki bisa berjalan tanpa kepanasan dan kehujanan.

Arcade
Salah satu buku keluaran Van Dorp

Van Dorp mengeluarkan sebuah album buku berjudul Indische Tuinbloemen pada tahun 1940an. Nah, buku tersebut menjual gambar yang terpisah dan pembeli gambar akan mendapatkan bibit bunga dan pot jika membelinya. Selain itu, Toko Buku Van Dorp berada di depan sebuah pasar bunga yang kini berada di Jalan Wastukencana.

Beranjak ke arah Hotel Panghegar, ternyata di sana ada sebuah hotel yang dulunya Toko Buku Prawirawinata di Jalan Oude Hospitaalweg (kini Jalan Lembong) pada tahun 1920-an. Ini merupakan toko buku pertama yang dibuat oleh seorang pribumi dan khusus menjual buku-buku Bahasa Sunda. Selain itu, buku-buku kala itu khas dengan adanya foto pengarang serta peringatan pentingnya hak cipta. Tentunya ditulis dalam Bahasa Sunda.


Ngomong-ngomong tentang Bahasa Sunda, Aleut menceritakan tentang runtuhnya kerajaan Sunda dan masuknya Kerjaan Mataram dengan membawa beragam imbas, salah satunya pada bahasa. Bahasa Sunda menjadi tersisih, Bahasa Jawa mulai dipakai para menak, Bahasa Sunda dianggap bahasa gunung dan bahkan Belanda menganggap sebagai distorsi dari Bahasa Jawa. Kalau tambahan dari Ajip Rosidi, undak-usuk yang ada di Bahasa Sunda itu diciptakan Kerajaan Mataram, Sultan Agung, agar menjadi pembeda ia dengan rakyat.

Oleh karena itu diadakan sebuah penelitian dan dibakukanlah Bahasa Sunda oleh Belanda sebagai bahasa yang mandiri. Sekitar tahun 1908, mulai diadakannya buku paket dalam Bahasa Sunda yang dibutuhkan oleh bumi putra. Pemerintah Belanda hanya menyalurkan buku dongeng atau novel ke sekolah-sekolah dengan tujuan mencegah para pelajar membaca buku impor.

Selain toko buku, Bandung juga memiliki beberapa percetakan yaitu salah satunya adalah Toko Tjitak Affandi di tahun 1903. Salah satu bukunya yang terkenal adalah Wawacan Angling Darma pada tahun 1906. Kalau dari sumber lain, ada percetakan lain yang dimiliki oleh Indo-Eropa yaitu G. Kolff & Co. Percetakan ini menerbitkan novel pertama karya sastrawan Sunda berjudul Baruang kanu Ngarora karya D.K. Ardiwinata tahun 1914. Berhubungan dengan penjelasan Aleut bahwa banyak karya Sunda dalam huruf Latin yang dibeli Belanda sehingga hanya meninggalkan karya bertuliskan huruf Jawa dan Arab saja. Sehingga tidak aneh banyak manuskrip Sunda yang ditemukan di Leiden, Belanda.

Untuk melengkapi pergerakan bacaan di Bandung, ternyata di Gedung Pusat Kebudayaan yang berada di Jalan Naripan ini dulunya merupakan tempat sebuah kabar nasional pertama berbahasa Melayu bernama Medan Prijaji tahun 1907. Surat kabar ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo yang kisahnya diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer di novel Tetralogi Buru dan Sang Pemula.

Buku menjadi jendela dunia bagi siapa saja yang membacanya. Buku membantu membuka carkawala serta membuat pikiran melanglang jauh dari raga berpijak dan amat disayangkan jika sejarah keberadaannya dilupakan. Semangat pergerakan buku di Bandung kala itu masih bisa berlangsung hingga generasi sekarang--dengan menciptakan sebuah karya atau sesederhana terus membaca.

Nia Janiar

Orang Bandung yang sedang berdomisili di Jakarta. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Berkegiatan menjadi buruh tulis di media. Kadang jalan-jalan, nonton gigs, atau ke pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

10 Comments

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

  1. Anonymous11:09 PM

    Manuskrip Sunda di Leiden, Belanda... Sumpahnya penasaran dengan manuskrip-manuskrip itu. Pasti banyak 'pencerahan' juga dengan peradaban orang-orang Sunda ini..

    ReplyDelete
  2. Iya, selain itu juga bisa menyambungkan the missing link peradaban Sunda. Kalau ada.

    ReplyDelete
  3. numpang baca artikelnya gan, keren banget pembahasan tentang sunda

    ReplyDelete
  4. bener gan ane numpang baca artikelnya juga ya :D

    ReplyDelete
  5. Hmm ini rame artikelnya, makin banyak yang dipertanyakan dari peradaban org sunda. hehehe (ya ampun ...)

    ReplyDelete
  6. Nia Janiar1:28 AM

    Apa tuh yang dipertanyakan, Bel? :)

    ReplyDelete
  7. keren teteh, salam kenal yah..:)

    ReplyDelete
  8. Nia Janiar11:55 AM

    Hai, salam kenal jugaa :)

    ReplyDelete
  9. Eh Nia, postingannya seru... nyesel saya ga bisa ikutan ngaleut 2 minggu terakhir ini. Pasti banyak cerita dan hal baru yang kelewat. Apalagi cerita tentang pemakaman Pandu itu, saya sampe ga ada ide buat nulis tentang pemakaman itu hahaha...
    keep posting! :)

    ReplyDelete
  10. Iya, kenapa atuh gak ikut? Pas ngaleut permainan kemarin ikut? Minggu besok ikut gak? *interogatif* Hehe..

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Contact Form