Mencari Air di Desa Wae Sano

Sekarang tahun 2019, sudah jauh sekali dari kemerdekaan Indonesia. Namun, beberapa wilayah tetap saja kesulitan air. Warganya harus berjalan berjam-jam, naik turun bukit atau gunung, bahkan masuk ke dalam hutan sambil membawa 4 jerigen setiap harinya.

Mencari sumber mata air

Salah satu daerah yang baru "merdeka" dari sulitnya mencari air adalah Desa Wae Sano, di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Awalnya mereka harus naik gunung atau turun ke sungai untuk mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, semenjak ada program CSR dari PT SMI, warga desa ini bisa mendapatkan air tepat di depan rumah.

Sebelumnya mereka sudah memiliki sumber mata air sendiri yang ditampung dan dialiri dengan cara sederhana yaitu menggunakan bambu. Pipa plastik pernah ada namun sayangnya sudah rusak. PT SMI memperbaiki infrastruktur ini dengan membuat penangkap air, penampung air, dan kerannya. Penangkap airnya pun tutup beton agar sumber mata air terjaga jika terjadi longsor.

Sumber mata air atau water catchment

Water reservoir

Keran air tepat di depan rumah

Beberapa sumber mata air memang tidak jauh dari jalan desa. Artinya, beberapa sumber mata air mudah diakses oleh segelintir orang. Namun bayangkan ika kamu tinggal di dusun yang jauh dari mata air, pasti penuh perjuangan untuk membawanya.

Saya juga dapat informasi dari warga bahwa tahun 1980an belum ada jerigen. Jadinya, orang-orang membawa air dengan bambu.

Danau Sano Nggoang

Di Desa Wae Sano terdapat sebuah danau yang luas bernama Danau Sano Nggoang. Sayangnya air danau ini sangat asam, yaitu memiliki pH 2.5, sehingga tidak bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Bahkan warga juga mengaku bahwa tidak bisa digunakan untuk transportasi karena airnya sangat korosif. Ikan juga tidak bisa hidup di dalamnya. Jadi, semacam mubadzir lah.

Selain itu, daerah ini juga belum dialiri oleh listrik. Listrik hanya nyala pukul 18.00-22.00 WITA. Itu juga karena warga menyalakan dengan generator sendiri. Lalu sinyal telepon? Hanya ada di beberapa tempat tertentu saja.

Berbahagialah kita yang bisa mandi air dan cahaya kapan saja, bahkan tidak sedikit membuang-buangnya. Kita berendam di bathtub, atau membiarkan air mengalir saat cuci tangan, atau memasang charger handphone meski tidak dipakai.. sungguh sia-sia. Semoga kesulitan yang dialami oleh saudara kita di Nusa Tenggara Timur ini menjadi pengingat agar kita bijak mengkonsumsi sumber daya tersebut.

Nia Janiar

Seorang penulis yang bekerja di agensi kreatif di Jakarta. Pernah bekerja sebagai jurnalis di salah satu media ternama di Indonesia. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Di sela kesibukan menjalani passion menulis dan home maker, senang baca buku sastra Indonesia dan mengunjungi pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

2 Comments

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

  1. makanya aku suka marah kalo anakku terlalu lama mandi,sambil main air, ato keran ga ditutup sempurna :(. mereka blm ngerasain gimana tinggal di desa yg seperti ini , susah air dan listrik :(.

    sayang bangettt yaaa danaunya ga bisa diapa2in krn terlalu korosif.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah iyaa banget, mba Fanny.. kita yang biasa hidup enak dan dapetin fasilitas serba gampang gitu jadi kurang menghargai ya. Contoh kecil yang suka kelupaan kayak lupa copot charger handphone.

      Delete
Previous Post Next Post

Contact Form