Tea Blend, Gerbang ke Dunia Teh


Mungkin, tanpa kita sadari, kita sering minum tea blend atau teh campur sejak kecil. Misal, kita familiar dengan teh hitam campur melati (yang sering ditemukan di warteg) atau teh hitam dicampur vanilla (yang sering ditemukan di rumah makan Padang. Seperti yang pernah saya tulis di Teh dalam Budaya Indonesia, pencampuran ini disebabkan untuk menutupi rasa sepat dan pekat akibat petikan daunnya tidak dipilih dan memang jenis tehnya tidak wangi.

Kalau kata Oza Sudewo, dikutip dari IG Live bareng Suji Premium, untuk membiasakan lidah peminum teh lokal untuk bisa minum speciality tea seperti oolong Bengkulu atau teh putih Gambung, lompatannya terlalu jauh. Padahal Indonesia memiliki sumber daya alam speciality tea yang melimpah. Karena minimnya permintaan dari dalam negeri, teh-teh berkualitas ini jadinya diekspor dari luar negeri

Supaya ada jembatan agar peminum teh lokal ke speciality tea Indonesia--yang nantinya akan meningkatkan penjualan di dalam negeri--maka banyak tea specialist memproduksi teh campuran. Dulu, teh campuran biasanya diimpor dari luar negeri. Tapi kini para tea specialist ini mulai menggunakan produk dalam negeri. 

Oza mengaku kalau dia sudah pakai 100% teh Indonesia, bahkan ia punya kebun sendiri. Sayangnya ia terkendala dengan supply. "Cihideung itu daerah penghasil bunga. Sayangnya bunganya pakai pestisida, jadinya enggak bisa dikonsumsi. Buah masih 50:50 antara lokal dan impor, sedangkan rempah-rempah dari Indonesia. Sayangnya, di foto bagus tapi kenyataannya engga. Aromanya enggak enak karena kelamaan lama disimpan dan warnanya enggak bagus," begitu kira-kira katanya.

Hal yang membuat saya senang dengan produk-produknya dari Oza adalah harganya terjangkau (sekitar Rp50.000 untuk 40 gram). Ada beberapa teh campur lain, seperti dari Pasar Teh, yang harganya Rp150 ribuan. Memang Oza mau main di teh hitam dan teh hijau dulu, karena selain masih pengen eksplor di sana, teh-teh ini bikin teh campurannya terjangkau.

Masuk akal banget sih kalau mau dibilang teh campur jadi pintu gerbang ke dunia teh. Selain teh dibuat lebih menarik dengan wangi-wangi yang unik, harganya juga tidak memberatkan. Apalagi sebelumnya minum teh lokal yang murah banget, 'kan?

Teh campur kalau udah pakai teh putih pasti bakal mahal banget. Kok bisa teh ini mahal? Oza jelasin, "Metiknya susah! Dari satu hektar, hanya bisa menghasilkan 100 kilogram pucuk basah. Itu teh putih hanya satu kilogram. Belum harus dikeringkan dan mengalami penyusutan 20%. Jadi dari satu hektar hanya dapat 100-200 gram. Proses pemetikannya harus dilakukan subuh-subuh agar kuncupnya tidak mekar."

Tiga kiblat teh 

Kalau kata Oza, ada tiga kiblat teh. Kenapa kiblat? Karena dunia teh itu benar-benar terkluster. Kiblat lokal itu contohnya daerah Sunda minum teh hitam tanpa gula, restoran Sunda selalu minum teh gaya Tasik, daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur minum teh melati, daerah Padang minum teh pakai vanila (biasanya mereknya teh bendera), dan daerah Melayu (Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam) minum teh tarik. 

Sedangkan kiblat barat adalah teh celup, teh campur, dan mixology (teh campur siap minum). Dan kiblat oriental adalah Cina, Jepang, dan Taiwan. "Nah, biasanya, kalau orang sudah kenal kiblat oriental, turun tangganya jadi susah," kata Oza.

Kebetulan, setelah sesi IG Live itu, saya dan suami makan di warteg. Sambil makan, saya bahas ke dia tentang apa yang saya dapat di atas. Kemudian kami minum teh tawar dari warteg itu. Memang rasanya nikmat sekali! Makan yang ditutup teh tawar dengan beberapa tegukan saja itu "template" yang sempurna. Ini beda sekali kalau saya minum speciality tea yang pasti enggak langsung diteguk, tapi diseruput dikit-dikit.

Suami saya agak anti dengan eksklusif-eksklusif seperti ucapan "kalau kenal kiblat oriental, turun tangganya jadi susah", yang seolah-olah menempatkan teh lokal itu di kasta paling bawah saja. Dia juga menuduh saya sok-sokan enggak suka teh lokal.

Saya memang suka minum speciality tea dan mengulasnya di media sosial. Bukan sok-sokan, tapi saya pengen turut "kampanye" bahwa Indonesia memiliki teh bagus dan sebaiknya kita meminumnya agar teh itu tidak diekspor ke luar. Masa orang luar dapet kualitas bagus sementara kita dapat teh kualitas rendah? Selain itu, ngapain kita berbangga menyediakan Twinings atau Dilmah (seperti para hotel), padahal produk negara sendiri tidak kalah enaknya?

Yuk, minum teh Indonesia!

Nia Janiar

Seorang penulis yang bekerja di agensi kreatif di Jakarta. Pernah bekerja sebagai jurnalis di salah satu media ternama di Indonesia. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Di sela kesibukan menjalani passion menulis dan home maker, senang baca buku sastra Indonesia dan mengunjungi pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form