Kembali ke Manga

Beberapa waktu lalu, saya menonton siniarnya Raditya Dika dan Eno Bening yang berjudul Tutorial Jadi Wibu. Saya penasaran juga wibu itu seperti apa karena wibu sering diolok nerd dan aneh di media sosial. 

Ternyata, isi siniarnya tidak membahas tentang itu—malah jauh lebih menarik. Eno dan Radit dengan semangatnya ngomongin anime dan manga yang mereka sukai. Bahkan Radit beberapa kali memuji bahwa jalan cerita anime dan manga di luar pikiran dan mind-blowing. Contohnya anime Unko-san yang bercerita tentang peri kotoran sebagai karakternya.

Sebagai orang yang kerja di industri kreatif dan membutuhkan asupan kreativitas, saya jadi penasaran membaca rekomendasi-rekomendasi yang disebutkan oleh Radit dan Eno, seperti Hunter x Hunter; Goodbye, Eri; Delicious in Dungeon, Chainsaw Man, dan karya-karya dari Ito Junji yang distrubing. 

Untungnya, beberapa dari karya tersebut bisa ditemukan di Netflix, sehingga saya nggak perlu beli komiknya.

Foto oleh Miika Laaksonen di Unsplash

Pernah koleksi manga

Menonton siniar tersebut membuat saya teringat bahwa saya pernah suka sekali dengan manga. Bahkan, buku yang pertama saya kali baca ya manga, bukan buku novel apalagi novel sastra. Di SD saya mengkoleksi manga, yaitu Candy-Candy dan Popcorn. Setiap punya uang, saya selalu meluangkan untuk pergi ke Gramedia untuk membeli manga seharga Rp700 saja.

Saya sangat terhanyut dengan cerita-cerita di manga romance tersebut. Rasanya kok jadi pengen seperti tokohnya. Hehe. Pernah sampai di satu titik saya stop baca manga, karena saya takut detached dengan realita dan jadi delulu

Selain itu, penulis manga yang saya koleksi adalah Kyoko Hikawa karena dia bisa menggambar karakternya dengan ganteng dan ceritanya juga manis. Untuk penulis manga horor, saya koleksi karyanya Chie Watari yang cerita dan penggambarannya seram.

Nggak hanya beli, saya juga rajin pinjam manga di Comic Corner (kini Zoe Corner), sebuah perpustakaan atau taman baca yang ada di Jalan Pager Gunung, Bandung. Manga yang rutin saya pinjam adalah Detektif Conan, Chibi Maruko-Chan, dan Kobo Chan. Sepulang sekolah, saya bisa baca sambil duduk atau tiduran di sana berjam-jam. Wah, menyenangkan!

Anak juga suka anime

Sejak kecil, anak saya dibiasakan untuk baca buku berbahasa Inggris terbitan luar negeri. Alasannya? Ilustrasinya sangat bagus, serta jalan ceritanya beragam dan logis. 

Meski rajin baca buku berbahasa Inggris, anak saya suka menggambar karakter bergaya anime padahal jarang dibacakan komik. Namun, setelah diperhatikan, ternyata dia suka nonton karakter-karakter anime yang ada di YouTube.

Ngeliat ketertarikannya sama anime, kayaknya saya bakal nularin kebiasaan saya dulu baca manga yang ramah anak sekaligus mengenalkannya pada perpustakaan deh, supaya dia punya sesuatu yang berkesan dan bisa diingatnya nanti.

Nia Janiar

Seorang penulis yang bekerja di agensi kreatif di Jakarta. Pernah bekerja sebagai jurnalis di salah satu media ternama di Indonesia. Percaya dengan tulisan sederhana namun bermakna. Tulisan dari hati akan sampai ke hati lagi. Di sela kesibukan menjalani passion menulis dan home maker, senang baca buku sastra Indonesia dan mengunjungi pameran seni. Senang berkenalan dengan pembaca.

Post a Comment

Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.

Previous Post Next Post

Contact Form