"Kalau pergi di weekend, pasti suami aku cari rumah makan Padang," kata teman saya saat kami ketemu di sebuah mal di Jakarta beberapa waktu lalu.
Teman saya melanjutkan, "Karena dia perantau, dia selalu cari makanan yang rasanya paling deket makanan di kampung halamannya. Tapi kalau rendang, dia nggak pernah mau beli, selalu makan masakan ibunya."
Kemudian teman saya bercerita bahwa keluarga suaminya juga suka mengenalkan masakan Padang. Salah satunya makanan yang paling berkesan buat teman saya adalah gulai cincang kambing di Bukittinggi.
Teman saya bukan pemakan daging kambing, karena aroma daging kambing yang menusuk. Oleh karena itu, ia sempat ragu untuk makan. Namun, karena dia terus disuruh coba oleh keluarganya, dia mau merasakan sedikit demi sedikit. Awalnya satu sendok kuah, lama-lama satu sendok daging. Lama-lama jadi santapan yang rutin.
Teman saya pun kaget, karena aroma kambingnya nggak berasa sama sekali! Saking enaknya, dia ngerasa lagi dikerjain dan kalau sebenarnya yang dia lagi makan adalah daging sapi. Supaya percaya, ibu mertuanya sampai memanggil tukang masak untuk konfirmasi bahwa yang teman saya makan adalah daging kambing.
Teman saya ini orang Sunda, sama seperti saya. Namun, karena pengaruh suami dan keluarganya, ia jadi tahu dan bisa merekomendasikan rumah makan Padang yang enak di Jakarta. Mana ayam pop yang enak, mana kikil yang mantap.
"Tapi kamu berhasil mempengaruhi mereka dengan masakan Sunda yang enak ngga?" tanya saya penasaran.
"Iya, dong. Aku masakin nasi tutug oncom sama sayur asem. Mereka suka, dan jadi terkenal di antara keluarganya. Kalau aku ke Padang, mereka ingin dimasakkin nasi tutug oncom!" cerita teman saya dengan bangga.
Budaya masak di rumah
![]() |
Jamur kancing dengan lada hitam. |
Saya tidak mengalami hal yang serupa dengan teman saya, karena saya menikah dengan orang dengan latar belakang suku yang sama. Meski demikian, keluarga mertua saya punya resep sendiri dalam bikin ikan goreng, sambal, dan punya daun lalapan yang belum pernah saya makan (saya baru makan daun pohpohan di rumah mereka).
Tapi, sayangnya, karena saya jarang main ke rumah mertua, proses transfer budaya masak itu jadi nggak ada.
Sebenarnya, saya baru rutin memasak saat pindah ke Tangerang, yaitu 3 tahun lalu. Masak mau nggak mau harus dilakukan karena kami nggak bisa jajan tiap hari dan pastinya bagian dari survival.
![]() |
Kiri: Paha fillet, jagung rebus, dan bayam yang creamy. Kanan: Beef enoki roll. |
Mula-mula, saya masak masakan yang sering dimasak di rumah Bandung, seperti tumis-tumisan, sayur asam dan sayur sop, pindang tongkol, ikan kembung goreng, terong balado. Namun, setelah menemukan serunya memasak, saya suka masak eksperimen makanan lainnya, seperti beef enoki roll, jamur kancing lada hitam, stik dengan saus jamur, dim sum, risoles, atau pepes ikan.
Saya juga bisa elevate masakan di rumah saya dulu dengan rasa yang lebih baik, misalnya bikin pindang tongkol kecap dengan rasa yang lebih lekoh dan aromatik.
Menjadi bahasa cinta
Masak kini bukan menjadi kegiatan untuk survival saja, tapi juga jadi seru karena saya bisa campur ini itu ke dalamnya. Bahkan rasanya ingin upgrade peralatan masak jadi lebih baik dan lengkap (termasuk ingin punya oven supaya bisa baking!) serta ingin dapur yang lebih spacious supaya bisa bikin masakan yang lebih mantap lagi.
![]() |
Kiri: Sawi hijau isi ayam, udang bawang putih. Kanan: Bihun goreng. |
Akhir pekan juga menjadi momen saya untuk eksplorasi resep-resep lainnya. Dan saya sangat menikmati prosesnya, mulai dari motong, mencampur bumbu, hingga kemudian penasaran mencoba rasanya. Kalau enak, bisa diulang di hari-hari lainnya.
By the way, menikmati proses ini nggak hanya di makanan saja. Saya juga sangat menikmati kegiatan menyeduh teh dan kopi yang memiliki banyak tahapan. Dengan melakukan proses itu, rasanya pikiran kita bisa 'istirahat' dari rutinitas sehari-hari gitu.
Masak juga jadi cara menunjukkan kepedulian dan rasa kasih sayang buat keluarga saya. Saya ingin mereka sehat dengan real food yang saya pilih sendiri. Saya ingin suami saya senang karena lidahnya merasakan masakan yang enak (dan saya senang ketika dia sudah punya menu favorit). Saya juga ingin anak saya bisa mengenang masakan mamanya saat ia besar nanti. Atau mungkin seperti suaminya teman saya: tidak mau makan selain masakan mamanya. 😊
![]() |
Spaghetti oglio olio |
Kayaknya enak2! Kayaknya masak emang lebih semangat kalau masakannya bisa dibagi sama orang2 yang disayangi, heheheu
ReplyDeleteBener, kalo sengaja masak buat orang lain agak males. Hahha. Mending beli :D
DeleteJadi ingat pas awal2 kami menikah mbak . Karena aku Batak, dan suami solo, JD pastilah menu makanan kami berbeda bumi dan langit 😅. Makananku cendrung rempah banyak dan pedas, sementara dia lebih suka makanan simple yg berkuah bening.
ReplyDeleteTapiiiii aku jadi Keikut cara dia. Bukan Krn berubah ga suka makanan ala sumatera, tp akunya sendiri ga terlalu suka masak.
So, belajar masak masakan kesukaan suami buatku jauuuh lebih simple dan hemat Krn ga memerlukan banyak bahan dan waktu 🤣
Untungnya lidahku cepat adaptasi, secara aku rutin traveling, dan di negara2 yg sering divisit rata2 Makanan toh minimalis 😁.
So makin terbiasa dengan menu2 ala Jawa fav suami 🤭.
Kalo kangen makanan Sumatera? Gampaaaang, beli aja, Krn di JKT toh ada banyak restoran Padang, Aceh yg bisalah ngobatin kangen 😄
Thankss udah berbagi ceritanya, kak. Seru banget. Apalagi Batak dan Solo kan beda banget yaa.
DeleteTemenku di kantor juga ada yang Batak, makanannya selalu berbumbu yang asin dan pedas, tapi belom suka sama makanan yang manis.