Dulu, waktu kecil, kita sering ditanya, “Kalau sudah besar mau jadi apa?” Jawabannya bisa macam-macam: dokter, astronot, guru, pemain bola, penulis. Tapi semakin bertambah usia, mimpi-mimpi itu pun ikut berkembang. Bukan lagi sekadar profesi, tapi sesuatu yang lebih dalam: ingin hidup lebih berarti, ingin merasa cukup, bahagia, atau lebih dekat dengan Tuhan.
Masalahnya, jalan menuju mimpi itu hampir nggak pernah mulus. Kadang lingkungan sekitar nggak mendukung. Apa yang kita impikan dianggap aneh, terlalu idealis, atau malah disuruh realistis aja.
Tapi sering juga, hambatannya justru datang dari dalam diri. Ada rasa ragu. Takut gagal. Merasa belum cukup pintar, belum cukup siap.
Namun mimpi, sekuat apa pun ditunda atau ditutupi, biasanya tetap muncul. Pelan-pelan, dalam bentuk keresahan, atau rasa penasaran yang nggak kunjung habis. Dan mungkin, dari situlah perjalanan sebenarnya dimulai.
Saya mengingat semua itu ketika berkunjung ke pameran seni The Knight’s Dream yang sedang berlangsung di Gedung The Jakarta Post, Palmerah Barat, Jakarta Pusat.
Pameran ini menghadirkan karya-karya tiga seniman: Apin, Gula, dan Rato. Ketiga seniman ini punya latar belakang berbeda, dari seni murni hingga desain grafis, tapi dipersatukan oleh satu benang merah: mimpi.
Salah satu karya yang menarik perhatian saya adalah patung panjat pinang yang fotonya ada di bawah ini. Sekilas tampak seperti adegan biasa. Tapi ketika saya mendekat, karakter-karakter yang mereka ciptakan—seekor anjing, seekor bunglon, dan seorang manusia mengenakan masker—punya ekspresi dan gestur masing-masing.
Patung ini adalah hasil kolaborasi antara Apin, Gula, dan Rato. Mereka bekerja sama dengan pematung tanah liat dari Yogyakarta untuk mewujudkan bentuk fisiknya, sementara ide karakternya datang dari mereka bertiga.
Saya beruntung sempat bertemu Rato di galeri. Dia cerita gimana mereka membagi proses pengerjaan. Masing-masing memilih karakter untuk dibuat, dan Rato kebetulan mendapat giliran pertama: karakter anjing yang berdiri di paling bawah, menopang karakter-karakter lain di atasnya.
Lalu ada Apin, seniman yang kisah pribadinya meresap kuat ke dalam karyanya. Ia merantau ke Yogyakarta, dan seperti banyak perantau lainnya, hidup menuntutnya untuk cepat beradaptasi. Bukan hanya soal bahasa atau budaya, tapi juga cara berpikir, cara bertahan, dan cara memahami diri sendiri di tempat yang baru.
Maka nggak heran jika karakter ciptaan Apin memiliki kulit bersisik menyerupai bunglon atau binatang yang bisa menyatu dengan lingkungan tanpa kehilangan identitasnya sendiri.
Kembali pada Rato yang tadi saya temui di galeri. Ternyata ada alasan personal di balik karakter anjing yang ia ciptakan. Rato memang menyukai anjing sejak lama.
Di salah satu lukisan kecil yang terpajang di salah satu bagian dinding, ada seekor anjing mengenakan jaket oranye. Tubuhnya penuh luka, tertusuk beberapa panah. Meski demikian, mata dan tangan anjing tersebut mengatup, menunjukkan anjing itu tidak panik, malah masih penuh harap.
Lukisan itu seolah menyampaikan pesan sederhana tapi dalem: bahwa bahkan saat tubuh kita lelah, diterpa banyak halangan, tapi masih punya harapan untuk tetap hidup. Dan kadang, itu aja sudah cukup untuk terus melangkah.
Lewat karakter-karakter ciptaan mereka, Apin, Gula, dan Rato nggak hanya bercerita tentang impian masing-masing, tapi juga tentang cara mereka bertahan.
Mungkin, mimpi memang bukan soal sejauh apa kita mencapainya, melainkan seberapa dalam kita menjaganya tetap hidup. Cieeh.
Pameran ini bisa dikunjungi secara gratis sampai 31 Mei 2025 ya. Silakan datang, dan ajak teman atau keluarga untuk ikut merasakan perjalanan ini. Karena siapa tahu, di antara patung dan lukisan tersebut, kamu bisa bertemu dengan versi kecil dari mimpi yang dulu pernah kamu punya. 😊